Adakah yang menjual waktu?
Di setiap perempatan jalan kulihat anak-anak kecil menjajakan jualannya. Ada yang berjualan gemblong, peta Bandung, koran, rokok, air mineral, peppermint, tapi tak kulihat satupun dari mereka yang berjualan waktu. Mungkin waktu terlalu mewah untuk dijajakan dipinggir jalan.
Adakah yang menjual waktu?
Aku mengamati disetiap etalase toko. Semuanya memajang benda-benda seperti pakaian, sepatu, tas yang semuanya tampak mahal, namun tak sedikit juga yang murahan, beberapa diantaranya memang barang obralan. Tetapi mereka rupanya tidak memajang waktu, apalagi mengobral waktu. Mungkin waktu memang tak pantas untuk diobral.
Adakah yang menjual waktu?
Aku menyusuri sepanjang lorong di setiap swalayan. Ditiap-tiap lorongnya ada rak yang berisikan berbagai macam barang yang tersusun dalam satu kelompok. Ada rak makanan ringan, ada rak kebutuhan sehari-hari yang selalu aku perlukan, tapi tidak untuk saat ini. Karna aku sedang mencari waktu.
Disalah satu ujung lorong aku melihat box pendingin raksaksa yang dipenuhi oleh berbagai macam minuman, buahan dan sayuran. Namun lagi-lagi, aku tidak melihat waktu dipajang disana. Mungkin waktu tak perlu dibekukan dalam box pendingin.
Adakah yang menjual waktu?
Aku menyusuri sepanjang pantai dan membiarkan kaki telanjangku merasakan lembutnya pasir yang basah oleh air laut. Membiarkan rambutku berkibar oleh angin laut yang bergulung. Merasakan udara yang terasa asin pada lidah. Berharap aku menemukan waktu yang mungkin disembunyikan oleh butiran pasir pantai. Atau mungkin ombak akan mengirimkan waktu padaku. Namun rupanya hanya buih air laut yang dikirimkan kepadaku. Dan aku pun berlalu, sama seperti waktu yang selalu melaluiku.
“Adakah yang menjual waktu?”
Pertanyaan itu selalu aku lontarkan ketika aku melalui perempatan jalan, toko-toko yang memajang barang-barang pada etalasenya, pada pasar-pasar swalayan yang dipenuhi dengan rak yang isinya beragam, dan pada orang-orang dipinggir pantai. Namun tanggapan yang selalu aku terima adalah: sebuah gelengan atau sebuah kata “tidak”. Itu lebih baik daripada orang yang tidak menanggapiku karna mengganggap aku sinting. Atau mereka yang merasa iba kepadaku. Entah iba karna aku sinting, atau iba terhadap dirinya sendiri karna sebenarnya ia juga ingin membeli waktu.
Adakah yang menjual waktu????
**
Bandung, 4 September 2009
9:40 pagi..
-Office-
Di setiap perempatan jalan kulihat anak-anak kecil menjajakan jualannya. Ada yang berjualan gemblong, peta Bandung, koran, rokok, air mineral, peppermint, tapi tak kulihat satupun dari mereka yang berjualan waktu. Mungkin waktu terlalu mewah untuk dijajakan dipinggir jalan.
Adakah yang menjual waktu?
Aku mengamati disetiap etalase toko. Semuanya memajang benda-benda seperti pakaian, sepatu, tas yang semuanya tampak mahal, namun tak sedikit juga yang murahan, beberapa diantaranya memang barang obralan. Tetapi mereka rupanya tidak memajang waktu, apalagi mengobral waktu. Mungkin waktu memang tak pantas untuk diobral.
Adakah yang menjual waktu?
Aku menyusuri sepanjang lorong di setiap swalayan. Ditiap-tiap lorongnya ada rak yang berisikan berbagai macam barang yang tersusun dalam satu kelompok. Ada rak makanan ringan, ada rak kebutuhan sehari-hari yang selalu aku perlukan, tapi tidak untuk saat ini. Karna aku sedang mencari waktu.
Disalah satu ujung lorong aku melihat box pendingin raksaksa yang dipenuhi oleh berbagai macam minuman, buahan dan sayuran. Namun lagi-lagi, aku tidak melihat waktu dipajang disana. Mungkin waktu tak perlu dibekukan dalam box pendingin.
Adakah yang menjual waktu?
Aku menyusuri sepanjang pantai dan membiarkan kaki telanjangku merasakan lembutnya pasir yang basah oleh air laut. Membiarkan rambutku berkibar oleh angin laut yang bergulung. Merasakan udara yang terasa asin pada lidah. Berharap aku menemukan waktu yang mungkin disembunyikan oleh butiran pasir pantai. Atau mungkin ombak akan mengirimkan waktu padaku. Namun rupanya hanya buih air laut yang dikirimkan kepadaku. Dan aku pun berlalu, sama seperti waktu yang selalu melaluiku.
“Adakah yang menjual waktu?”
Pertanyaan itu selalu aku lontarkan ketika aku melalui perempatan jalan, toko-toko yang memajang barang-barang pada etalasenya, pada pasar-pasar swalayan yang dipenuhi dengan rak yang isinya beragam, dan pada orang-orang dipinggir pantai. Namun tanggapan yang selalu aku terima adalah: sebuah gelengan atau sebuah kata “tidak”. Itu lebih baik daripada orang yang tidak menanggapiku karna mengganggap aku sinting. Atau mereka yang merasa iba kepadaku. Entah iba karna aku sinting, atau iba terhadap dirinya sendiri karna sebenarnya ia juga ingin membeli waktu.
Adakah yang menjual waktu????
**
Bandung, 4 September 2009
9:40 pagi..
-Office-