Sebentuk layang-layang sedang menari-nari diantara gumpalan awan, dikendalikan oleh tangan-tangan kecil di bawahnya. Kulit mereka legam terbakar oleh panas matahari sore. Tapi wajah-wajah di bawah tampak gembira, terlihat dari deretan gigi yang mereka pamerkan diantara bibirnya. Mata mereka agak menyipit karena silau, tapi tetap awas melihat pergerakan layang-layang sendiri ataupun layang-layang temannya yang akan dijadikan incaran untuk disangkutkan lalu ditarik hingga benangnya putus. Mengadu layang-layang. Begitulah istilahnya.
Dan sore itu rupanya sore yang beruntung bagi mereka. Ada sebuah layang-layang berbadan emas dan berekor panjang yang sedang meliuk-liuk bebas diterbangkan angin. Buru-buru mereka menanggalkan gulungan benang. Mereka berlarian. Berkejaran sepanjang lapangan untuk memperebutkan layang-layang yang sudah tak bertuan. Bagi mereka, adalah suatu prestasi tersendiri jika pulang nanti dapat membawa—paling tidak—satu tambahan layang-layang hasil peraduan.
Pluk.
Layang-layang itu akhirnya terjatuh, sempat tersangkut di dahan kersem yang buahnya merona merah seperti malu, karena telah berkali-kali dilirik oleh beberapa pasang mata yang sedang berteduh di bawah daun-daun yang tumbuh lebat. Sepertinya beberapa dari mereka tergiur untuk memetik buahnya, lalu memasukkan ke dalam mulut melalui bibir mereka yang terlihat pecah-pecah.
“Puasa”.
Salah satu temannya mengingatkan. Lalu mereka kembali tenggelam ke dalam komik yang dipegang masing-masing. Pasrah akan kekeringan yang melanda tenggorokan mereka.
Dan disitulah kegaduhan terjadi. Tak jauh dari pohon kersem, sebuah layang-layang emas turun dari langit. Salah satu anak rupanya telah berhasil menangkap dan sedang ingin mengamankan hasil temuannya kalau saja tak ada anak lain yang muncul.
“...yang pertama ngeliat kan saya duluan!”
“Tapi saya yang pertama nangkep!!”
“...saya yang pertama teriak, terus kalian pada lari...”
“Suruh siapa teriak?!”
“Heh, itu punya saya. Kan saya yang mutusin benangnya”.
“...blablabla lihat blablabla...”
“...dateng blablabla...”
“...blablabla blablabla...”
Keributan sudah tidak bisa ditolerir lagi. Entah siapa berbicara apa. Yang membaca komik tidak mau ikut campur dan memilih meneruskan membaca cerita Candy-candy yang membuat air mata berderai, atau Doraemon yang membuat mereka terpingkal-pingkal.
Kedamaian pun akhirnya terjadi dengan sangat ajaib: layang-layang yang diperebutkan sobek karena mereka saling tarik. Ekornya tak lagi panjang dan rupanya pun sudah tak seperti layang-layang.
Semua kembali ke tengah lapang dengan muka masam. Untungnya tidak ada adegan adu jotos yang biasanya terjadi kalau anak kecil sedang berkelahi. Mungkin mereka sadar karena ini bulan puasa. Atau mungkin mereka terlalu lelah berkelahi hanya untuk memperebutkan layang-layang seharga lima ratus rupiah.
Sesampainya di tengah lapang, mereka tidak meneruskan bermain karena senja sudah mulai terlihat di sepetak langit, pertanda maghrib akan segera berkumandang. Kesibukan lain mulai terlihat: menggulung benang atau membereskan buku bacaan. Lalu mereka melangkah meninggalkan lapangan bersama-sama.
“Besok di jam yang sama?”
“Siap.”
“Besok saya mau pake benang gelas super ah, dan numbangin layang-layang kalian.”
“Coba aja kalau bisa”.
“Heh, kalian para cewe’ pada ga bosen apa baca cerita yang itu-itu ‘mulu.”
“Enak aja! Ceritanya seri tauk. Ada banyak episode...”
“...dan bikin kita terharu...”
“Ya deh... dasar cengeng! Hahahaha..”
“Sembarangan!”
“Hahahahaa...”
“Oke, sampe ketemu besok”
“Dadah”.
“’Dah...”
**
Sepuluh Ramadhan telah berlalu. Hari tak pernah lagi sama semenjak terakhir kali mereka berpisah di ujung lapang sana. Dua orang remaja sedang melewati tanah lapang yang becek karena musim hujan yang berkepanjangan, pohon kersem masih berdiri di ujung lapang; terlihat tua dan daunnya menguning disana-sini. Tak ada layang-layang yang berwarna-warni dan berekor menghiasi langit sore ini. Dua remaja itu pun hanya melihat sekilas sambil tetap meneruskan langkah menuju warung internet yang ada di luar komplek mereka.
“Kemarin aku chatting sama Rista.”
“Oyah, dimana dia sekarang?”
“Bandung, katanya.”
“Kamu punya Facebooknya?”
“Ada. Cari aja di friendlistku.”
“Bagaimana rupa dia sekarang ya? Apa dia masih mewek kalau membaca Candy-candy?”
“Hahaha... Entahlah”.
Mereka diam, hanyut ke dalam kenangan masing-masing. Dari sembilan orang yang pernah bermain di lapangan sana, hanya dua orang yang masih tinggal di komplek ini. Sisanya merantau ke beberapa daerah, hanya pulang kalau sedang libur kuliah.
Akhirnya mereka sampai di warnet yang dituju. Banyak kepala yang menyembul di balik bilik. Suara klak-klik mouse atau tak-tik keyboard terdengar seperti sebuah instrumenttak beraturan.
“Ngomong-ngomong, kemajuan desa mu sudah samapai mana?”
“Apa?”
“Tribal Wars*).”
“Ooh... Nyaris sempurna. Dan sebentar lagi aku akan mengalahkan desa mu!”
“Ha! Jangan yakin dulu.”
“Let’s see, dude.”
Lalu mereka pun masuk ke dalam bilik yang masih kosong, menyalakan komputer, dan siap untuk membangun sebuah desa di dunia maya.
***
Bandung, 24 Agustus 2010 | 22:27 PM
Malam Ramadhan ke-15
-Kamar-
*) Salah satu nama game online.