Category

cerpen (8) curahan hati (5) english (3) lirik (2) music (2) puisi (14) review (1)

Thursday, 12 May 2011

Pulang, Senja... Aku Menunggu

Aneh bila kita merasa sepi dan terasing ditengah hingar-bingar kehidupan manusia.
___

Sekarang hari Rabu. Hari masih saja berlalu dengan lambat sejak pertemuan terakhir kita di Stasiun kota waktu itu. Aku masih menghitung disetiap detiknya. Masih mengamati ketika jarum itu bergulir pelan-pelan hingga ke batas waktu yang telah kita tentukan untuk kembali meneruskan garis-liku yang pernah kita buat dalam satu hela napas bersama.


Aku menunggu...


Aku tahu itu masih lama,  meski tidak memakan waktu hingga separuh abad. Tapi bagiku, satu dekade pun telah membuatku begitu lumpuh.

Satu dekade bagiku,
atau mungkin satu detik bagimu
Aku tidak tahu. Karna kita berdua berada di dua dimensi yang berbeda, kan?


Dan kelak, bila saatnya nanti kita bertemu kembali, akan ku ulang lagi sebuah pertanyaan yang sama, sebuah kalimat yang itu-itu juga;


“Kapan kamu pulang?”


Semoga kau tak bosan.


**

Bandung, 12 Mei 2011
Kamis malam Jum’at | 20:21
-kamar-



Missing you makes me feel so dying. Just sitting right here and waiting till the day we’ll meet again.

Wednesday, 8 December 2010

(KKDH) Kupu-Kupu Yang Tak Kembali

Hari ini, kulepas kau dari hatiku, ketika aku sedang menunggu secangkir hot cappucino datang ke meja ku, sambil berselancar di dunia maya bersama leptoppink ku.

Itu kamu.
Ada ia disampingmu.
Ia.
Bukan aku.
Aaaahh..

Padahal aku tak pernah benar-benar ingin melepasmu. Meski, ya, aku melepasmu.
Karena aku mencintaimu.

Ah, aku khawatir kau tidak menangkap maksudku dengan jelas.
Baiklah, sekali lagi:
Aku mencintaimu.
Maka dari itu aku memberikanmu kesempatan untuk memilih ia dibanding aku. Karena aku percaya pada ayat yang sering aku dengar bahwa cinta semestinya membebaskan. Love should be free.

Sampai akhirnya ketololanku terbukti.

Salahku telah berjudi.

Saat itu aku mulai menghitung pada tiap purnama yang bergulir:
satu-dua purnama tak mengapa;
tiga-empat-lima,
berarti pertanda bahwa enam-tujuh purnama adalah suatu masa
yang tidak memerlukan bilangan ke-delapan dan ke-sembilan.

“Cukup”, kataku sendiri. “Aku sudah tak mau lagi menunggu.”

Dan bersamaan dengan datangnya seorang pelayan yang membawakan secangkir hot cappucino yang  mengepul, aku menyalakan fitur YM ku, menyortir namamu, lalu mendeletenya dari buddy list ku.

Are you sure want to delete “kupukupu” from your buddy?
Yes?
No?

Done.

Maka hari ini, kulepas kau dari hatiku. Tidak hanya nyatamu, tapi juga mayamu.


**

Bandung, 8 Desember 2010 | 5:40 PM

Gambar di undur dari Google

Terbanglah kupu-kupu. Hisaplah semua madu pada bunga yang kau singgahi satu-satu. 





Note:  tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti lomba KKDH - Kulepas Kau Dari Hatiku.

Monday, 22 November 2010

Sebait Rindu

Adakah cara ‘tuk sampaikan rasa pada hati yang bebal?

atau mestinya kulisan saja tentang kata yang sempat terpanggal ;

yang bernama rindu

seratus atau seribu sehari

sebelum akhirnya waktu jua yang membunuh asa

tentang kamu yang semestinya ada

hanya karena lidah yang sulit mengaku

bahwa aku cinta padamu, atau kamu cinta padaku.


**

Bandung, 22 November 2010 | 10:37 PM | Kamar


Be the first one to say ‘I love you’, a little loving a little giving, to build a dream for the world we live in” [anonim]

Wednesday, 20 October 2010

Sebuah Monolog: Saya Versus Kafein

Bandel. Udah tau kafein bisa bikin kamu sakit.

Apa boleh buat. Saya ngantuk. Semalem bagadang.

Ngapain?

 Ngelamun.

Apa ada faedahnya?

Ada. Saya merasa lebih bijak dan dewasa dari sebelumnya.

Halah. Teori dari mana tuh?

Dari para sopir taxi.*)

Ya silakan saja kamu berteori dan lihat akibatnya sekarang; mual, gemetar, jantung berdetak lebih cepat...

Lalu?

Lalu tadi kamu sempat murungkut kan? Menggigil. Gejala lemah jantung atau apa.

Lalu?

Tugas bikin cerita 20 halamannya semakin tertunda.

Lalu?

Lalu.. lalu..!! Lalu kenapa kamu ga pernah mau berenti minum kafein?

Karena rasa sakit yang mereka tawarkan justru membuat saya ketagihan.

No way.

Kenapa?

Kamu gila!

Sebuah pujian.

Sinting!

Trimakasih.

Aah.. sudahlah!

Ya sudah. Lagipula saya mau tidur.

Jangan dulu! Tugas 20 halamannya bagaimana?

Nanti saya kerjakan.

Kapan?

Besok saja. Atau mungkin lusa. Saya benar-benar ingin tidur.



















***


Bandung, di kamar lagi stuck ide, 19 oktober 2010 jam 7:35 malam.


*)  Pernah diungkapkan oleh Seno Gumira Ajidarma, dalam Seni dan Air Seni Sopir Taxi.

Monday, 18 October 2010

A Lonely Looney

I saw the little girl walking through the way in almost everyday. Her name was Looney. She walked alone, just hold a little teddy bear in her right hand—and I just realized that she never ever hold her teddy bear in her left—always in her right one.

Someday, I
—as A Street Light Pole—asked her where she's going.

"I'm looking for my friends, Mr. Street-Light-Pole", she answered.

My friend of mine, Mr. Wooden Bridge, feeling interested to join our chat.

"So where are your friends by the way? Why didn't they come with you? Why do you always walk alone?” The Wooden Bridge asked sadly.

She didn't answer directly, she look like wondering the answer. And then...

"I'm looking for my friends", she answered that thing again, seemed she didn't listen to Wooden Bridge's question
s.

Ooo.. You're kind of a pity little girl", I mumbled. "You must be very very lonely
, aren’t you? We can be your friends, we can have a chit chat. So you won’t feel lonely anymore", I offered a good proposal.

Then her face turns into more unhappy.

"Can you dance? Can you read a book or eat a bowl of meatball with me? I'm so glad if you can". Her eyes are fulfill
ed of a thousand hopes.

"Err.. Well, we're just The Street Light Pole and A Wooden Bridge, aren't we? So why do you suppose us to do that?" I asked carefully, worried to make her more unhappy.

She didn't answer, so I continue talking.

"We have been standing here along time ago and it's gonna be till the rest of our life. We are The Street Light Pole have a duty to give a light to the lost people like you. And Mr. Wooden Bridge will bring you from one world to the another world." I explained to her. She's trying to understand what I was talking about.

"Give a light to the lost people?", she replied slowly. Are there a lot people who lost on this way right now? Does it mean I'm not the only one who always walk on here?"

"Yes, you are not the only one. I replied shortly.

"So why I can't see them, then?!", she demanded more answer from me.

I quiet for a while. Don't know what to say a complicated thing to that a little girl.

Yeah. We have been here so long, a long long time ago before the century's begun. There were a lot of lost people coming through this way. They're just walking round and round on the same place, on the same path, and asking the same question just like the little girl did. But they seemed can’t remember that they already did the same thing before and got the same answered for each and everytime.

They are the lost people. And the only way helps them out of this way is…..


"Why?" The little girl interrupted my thought. "Why can't I see them? Why do I just see myself who
still walking on this strange way?"

Again, I quiet for a while. Wondering what the best question is for her.

"Because it's a loneliness path, my dearest little girl", I replied at last.


A time passed by. The little girl still walking round and round on this way, with a little teddy bear in her right hand. And if you asked to her what she’s doing, she would answer:

“I’m looking for my friends, Mr. Street Light Pole”.



**

Bandung, Monday raining
18 OCT 10 | 16:15
-In the Office-

Sunday, 5 September 2010

LAYANG-LAYANG

Sebentuk layang-layang sedang menari-nari diantara gumpalan awan, dikendalikan oleh tangan-tangan kecil di bawahnya. Kulit mereka legam terbakar oleh panas matahari sore. Tapi wajah-wajah di bawah tampak gembira, terlihat dari deretan gigi yang mereka pamerkan diantara bibirnya. Mata mereka agak menyipit karena silau, tapi tetap awas melihat pergerakan layang-layang sendiri ataupun layang-layang temannya yang akan dijadikan incaran untuk disangkutkan lalu ditarik hingga benangnya putus. Mengadu layang-layang. Begitulah istilahnya.
Dan sore itu rupanya sore yang beruntung bagi mereka. Ada sebuah layang-layang berbadan emas dan berekor panjang yang sedang meliuk-liuk bebas diterbangkan angin. Buru-buru mereka menanggalkan gulungan benang. Mereka berlarian. Berkejaran sepanjang lapangan untuk memperebutkan layang-layang yang sudah tak bertuan. Bagi mereka, adalah suatu prestasi tersendiri jika pulang nanti dapat membawa—paling tidak—satu tambahan layang-layang hasil peraduan.
Pluk.
Layang-layang itu akhirnya terjatuh, sempat tersangkut di dahan kersem yang buahnya merona merah seperti malu, karena telah berkali-kali dilirik oleh beberapa pasang mata yang sedang berteduh di bawah daun-daun yang tumbuh lebat. Sepertinya beberapa dari mereka tergiur untuk memetik buahnya, lalu memasukkan ke dalam mulut melalui bibir mereka yang terlihat pecah-pecah.
 “Puasa”.
Salah satu temannya mengingatkan. Lalu mereka kembali tenggelam ke dalam komik yang dipegang masing-masing. Pasrah akan kekeringan yang melanda tenggorokan mereka.
Dan disitulah kegaduhan terjadi. Tak jauh dari pohon kersem, sebuah layang-layang emas turun dari langit. Salah satu anak rupanya telah berhasil menangkap dan sedang ingin mengamankan hasil temuannya kalau saja tak ada anak lain yang muncul. 
“...yang pertama ngeliat kan saya duluan!”
“Tapi saya yang pertama nangkep!!”
“...saya yang pertama teriak, terus kalian pada lari...”
“Suruh siapa teriak?!”
“Heh, itu punya saya. Kan saya yang mutusin benangnya”.
“...blablabla lihat blablabla...”
“...dateng blablabla...”
“...blablabla blablabla...” 
Keributan sudah tidak bisa ditolerir lagi. Entah siapa berbicara apa. Yang membaca komik tidak mau ikut campur dan memilih meneruskan membaca cerita Candy-candy yang membuat air mata berderai, atau Doraemon yang membuat mereka terpingkal-pingkal. 
Kedamaian pun akhirnya terjadi dengan sangat ajaib:  layang-layang yang diperebutkan sobek karena mereka saling tarik. Ekornya tak lagi panjang dan rupanya pun sudah tak seperti layang-layang. 
Semua kembali ke tengah lapang dengan muka masam. Untungnya tidak ada adegan adu jotos yang biasanya terjadi kalau anak kecil sedang berkelahi. Mungkin mereka sadar karena ini bulan puasa. Atau mungkin mereka terlalu lelah berkelahi hanya untuk memperebutkan layang-layang seharga lima ratus rupiah. 
Sesampainya di tengah lapang, mereka tidak meneruskan bermain karena senja sudah mulai terlihat di sepetak langit, pertanda maghrib akan segera berkumandang. Kesibukan lain mulai terlihat: menggulung benang atau membereskan buku bacaan. Lalu mereka melangkah meninggalkan lapangan bersama-sama. 
“Besok di jam yang sama?”
“Siap.”
“Besok saya mau pake benang gelas super ah, dan numbangin layang-layang kalian.”
“Coba aja kalau bisa”.
“Heh, kalian para cewe’ pada ga bosen apa baca cerita yang itu-itu ‘mulu.”
“Enak aja! Ceritanya seri tauk. Ada banyak episode...”
“...dan bikin kita terharu...”
“Ya deh... dasar cengeng! Hahahaha..”
“Sembarangan!”
 “Hahahahaa...”
“Oke, sampe ketemu besok”
“Dadah”.
“’Dah...”

**

Sepuluh Ramadhan telah berlalu. Hari tak pernah lagi sama semenjak terakhir kali mereka berpisah di ujung lapang sana. Dua orang remaja sedang melewati tanah lapang yang becek karena musim hujan yang berkepanjangan, pohon kersem masih berdiri di ujung lapang; terlihat tua dan daunnya menguning disana-sini. Tak ada layang-layang yang berwarna-warni dan berekor menghiasi langit sore ini. Dua remaja itu pun hanya melihat sekilas sambil tetap meneruskan langkah menuju warung internet yang ada di luar komplek mereka. 
“Kemarin aku chatting sama Rista.”
“Oyah, dimana dia sekarang?”
“Bandung, katanya.”
“Kamu punya Facebooknya?”
“Ada. Cari aja di friendlistku.”
“Bagaimana rupa dia sekarang ya? Apa dia masih mewek kalau membaca Candy-candy?”
“Hahaha... Entahlah”. 
Mereka diam, hanyut ke dalam kenangan masing-masing. Dari sembilan orang yang pernah bermain di lapangan sana, hanya dua orang yang masih tinggal di komplek ini. Sisanya merantau ke beberapa daerah, hanya pulang kalau sedang libur kuliah.
Akhirnya mereka sampai di warnet yang dituju. Banyak kepala yang menyembul di balik bilik. Suara klak-klik mouse atau tak-tik keyboard terdengar seperti sebuah instrumenttak beraturan. 
“Ngomong-ngomong, kemajuan desa mu sudah samapai mana?”
“Apa?”
Tribal Wars*).”
“Ooh... Nyaris sempurna. Dan sebentar lagi aku akan mengalahkan desa mu!”
“Ha! Jangan yakin dulu.”
Let’s see, dude.”
Lalu mereka pun masuk ke dalam bilik yang masih kosong, menyalakan komputer, dan siap untuk membangun sebuah desa di dunia maya.

***

Bandung, 24 Agustus 2010 | 22:27 PM
Malam Ramadhan ke-15
-Kamar-

*) Salah satu nama game online.

Wednesday, 21 July 2010

I'll Light a Candle

song by:  Agnes Monica feat. Keith Martin

download song here, also available on Youtube

**

I spend my time today
Just thinking of u
My heart and my mind
Are fell when missing u

I can't wait for the moment
When u finally back in my arms
So for now while u're not around
The thought of u keeps me warm

I'm longing for your touch
And your kisses I really miss
I hope you come home soon
That until then this is what I do



I'll light a candle
To see when u get home
Just to let u know
That I'm waiting so long for u to hold me
Until the night u will stay
(Stay with me forever)
Ill light a candle in the window
Hurry come my way

Just the thought of u
Gets me through my days
U constantly in my mind
And never be seen go away
I can feel your touch in my dreams
I dont want to open my eyes
Just to know that u're waiting for me
Makes me feel warm inside

It's only time
That keep us apart
But in a moment
We'll be face to face
And heart to heart

There's nothing
Than even to know
That u're coming home

Don't u worry girl
U wont be alone too long
When the morning comes
And I see your face
Lying next to me
We will making love forever
Dont ever leave