Apakah masa depan itu? Apakah masa depan adalah suatu hal yang pasti, yang tidak bisa kita ubah arahnya dan hanya menginjakkan kaki sama mudahnya seperti air yang mengucur dari keran, yang terjun dari ketinggian, dan yang mengalir pada sungai? Tak adakah usaha kita untuk membentuk masa depan itu sendiri, masa depan yang akan kita jalani sepanjang hidup kita sampai kita mati?
Orang bilang takdir itu sudah ditentukan. Tentu saja, itu pasti hal-hal semacam jodoh, rejeki, dan kematian, kan? Tapi, siapa jodoh yang dimaksud?? Rejeki seperti apa yang akan kita dapat?? Kapan dan bagaimana kematian akan merenggut nyawa kita??
Jodoh, rejeki dan kematian. Layaknya serial drama, Tuhan telah menuliskan skenarionya dan kita sebagai lakon sandiwara hanya akan mengikuti naskah yang digoreskan pada buku takdir. Apa benar semudah itu, hanya menapak dan tidak berusaha untuk berontak pada nasib yang tidak kita hendaki, misalnya?
Tapi orang bilang, nasib bisa dirubah. Apakah nasib dan takdir adalah dua hal yang berbeda? Apa itu nasib? Apa itu takdir? Nasib seperti apa yang bisa dirubah? Apakah takdir memang mutlak tidak dapat dirubah? Nasib membentuk takdir, atau takdir membentuk nasib? Nasib yang menuntun kita atau kita yang menuntun nasib? Jika memang nasib dapat dirubah, seberapa besar kekuatan kita untuk merubah nasib kita sendiri? Apakah dengan merubah nasib akan merubah takdir kita yang tak terelakkan?
Mungkin nasib kita berubah pada hal-hal yang tidak kita sadari telah merubahnya. Hal-hal yang tidak sengaja. Hal yang kebetulan belaka. Keberuntungan semata. Benarkah?
Begitu banyak tanda tanya yang ada dalam kepalaku. Meninggalkan begitu banyak ruang untuk jawaban. Begitu kosong. Hingga aku tergoda untuk mengisi kekosongan itu dengan jalan hidup ku sendiri, jalan hidup yang akan kutempuh, layaknya aku mengisi kertas putih ini menjadi sebuah cerita yang bertepi.
Ketika aku kecil, aku selalu menjawab “ingin menjadi orang yang berguna” ketika ditanya tentang cita-citaku. Seberapa besar gunaku, aku pun tidak tahu. Karna waktu itu aku hanya tau profesi sebangsa dokter, astronot, atau pilot. Aku tidak ingin menjadi dokter; aku tidak suka bau obat, dan jarum suntik akan membuatku lari terbirit-birit. Aku tidak tertarik menjadi astronot; ketinggian akan membuatku pingsan. Begitu juga dengan pilot; aku selalu bingung arah, bisa saja aku malah mendaratkan pesawat di Samudra Atlantik dan bukannya di India. Maka aku tidak punya pilihan lain selain menjawab dengan kepolosanku.
Menginjak usia tanggung, mungkin SMP, aku pernah bercita-cita menjadi peragawati. Untuk sesaat, tampaknya aku akan serius dengan cita-cita ku ini. Berjalan tegak sambil berlenggak-lenggok dengan buku tebal yang ditaruh diatas kepala untuk melatih keseimbangan. Tapi kemudian aku menjadi tidak tertarik untuk mendalaminya. Aku tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian, tidak pandai bersolek, dan tidak akan tahan kalau muka ku harus ditempeli berbagai macam kosmetik. Lagipula aku tidak cantik. Badanku pun biasa saja, berbakat melar malah.
Ketika SMA, aku menuliskan cita-cita ku pada lembar biodata: Ingin menjadi wanita karir. Semacam profesi sekretaris yang kini aku jalani. Sebelum aku menjalaninya, profesi ini tampak hebat dibenakku. Duduk di depan komputer, mengangkat telepon, bertemu dengan banyak orang, membuat notulen rapat, mengetik dengan cepat (sungguh, aku tak punya keahlian lain yang bisa aku bangga-banggakan di dalam surat lamaranku kecuali keahlian mengetik dengan cepat dan tepat). Namun ketika aku menjalaninya, hal itu menjadi biasa saja. Tak ada yang istimewa dengan pekerjaan itu. Meskipun aku tak menolak kesempatan untuk belajar lebih banyak lagi, untuk menambah pengalaman, teman, dan juga uang.
Sekarang aku malah berpikir, menjadi wanita karir untuk seumur hidupku bukanlah suatu ide yang bagus. Tentu saja, aku ingin memiliki penghasilan sendiri, sehingga aku tidak perlu menggantungkan hidupku pada orang lain, sekalipun itu suamiku sendiri (aku tidak mengerti kenapa aku merasa malu ketika mengetik kalimat tadi). Tapi aku pikir, menjadi wanita karir hanya akan menyita waktu lebih banyak di luar rumah daripada mengurus keluarga sendiri (tuh kan merasa malu lagi!!). Suatu saat nanti, aku harus melepaskan diri menjadi wanita karir, ketika aku sudah berkeluarga dan beranak pinak (masih merasa malu!! Oh ya Tuhan, kenapa sih aku ini??!).
Lantas aku harus mencari cita-cita lain: suatu pekerjaan yang tidak terikat jam kerja dan tidak terlalu menyita waktu di luar. Jika sudah waktunya untuk melepaskan diri menjadi wanita karir, hal apa yang bisa aku lakukan untuk terus beraktivitas, tidak saja untuk menghilangkan kejenuhan, melainkan juga untuk mendatangkan uang??
Hal pertama yang terlintas dalam benaku adalah menjadi pebisnis (bisnis yang tidak terikat jam kerja dan tidak terlalu menyita waktu di luar. Entah apa. Mungkin ngewarung. Itu bisnis, kan?). Ide gila sebetulnya. Walaupun aku percaya bahwa segalanya mungkin terjadi. Aku hanya merasa tidak berbakat dalam berbisnis. Sangat tidak berbakat malah. Kuliah tiga tahun di jurusan Administrasi Bisnis rupanya tidak berhasil mencetakku menjadi seorang pebisnis.
Papaku selalu berkata, “janganlah menjadi pebisnis. Kerja. Mengabdi pada perusahaan, entah swasta entah negara, karna keluarga kita tidak ada yang memiliki jiwa pebisnis. Hanya karyawan, dan bukan juragan.”
Entah jiwa macam apa yang sedang bersemayam dalam keluargaku. Kalau akhirnya aku menuruti nasihat papa, bukan berarti aku mengakui adanya pembenaran dalam kata-katanya. Aku kadang tergelitik dan tergoda untuk terjun menjadi pebisnis, hanya untuk pembuktian saja. Tapi, seperti yang aku bilang, aku sangat tidak berbakat untuk menjadi pebisnis. Maka aku akan mendorong mimpi ini keluar.
Menjadi guru les Inggris merupakan opsi ku yang kedua. Aku punya sedikit kemampuan berbahasa Inggris. Kemampuanku lebih dari cukup untuk mengajar anak-anak usia playgroup. Mungkin bisa sampai tingkat SMP atau SMA, asal kita tidak terlalu banyak berbicara grammar saja. Atau mungkin grammar bukan lagi menjadi penghalang untuk kedepan, jika saat ini aku punya cukup semangat untuk terus belajar. Ide ini tidak terlalu buruk menurutku. Asal mau belajar, segalanya pasti akan terasa mudah. Rasanya menyenangkan kalau kita bisa berbagi ilmu dengan yang lain. Bukankah berbagi ilmu merupakan amalan yang tak akan pernah putus.
Tapi setelah aku pikir, aku bukan orang yang berbakat menjelaskan banyak hal. Aku tidak terlalu pandai berbicara. Meskipun ada teman yang menilaiku sebagai “orang yang ngomong terus tiada henti dengan suara cempreng seperti kaleng rombeng”. Tapi aku tidak merasa begitu. Oh, oke, aku akan jujur, mungkin aku memang begitu, tapi hanya pada orang-orang yang aku anggap nyaman untuk bersuara seperti kaleng rombeng. Selebihnya, aku lebih suka mendengar dan membiarkan kalian yang menjadi kaleng rombeng. Tapi meskipun begitu, aku akan tetap menyimpan ide ini di saku.
Kemudian opsiku yang ketiga, sekaligus yang terakhir untuk saat ini adalah menjadi seorang penulis. Entah novelis, entah cerpenis, yang penting penulis. Aku memang hobi menulis. Tapi—lagi-lagi tapi—aku belum terlalu serius untuk memikirkan bahwa menulis merupakan karir yang harus aku jalani. Memang menyenangkan ketika kita hanya diam di rumah dan membuat cerita. Tetap mengurus keluarga dan bisa menghasilkan uang dari cerita kita, itu pun kalau tulisan kita laku dijual. Untuk saat ini, aku masih ragu.
Menulis itu tidak susah sebenarnya, kalau kita punya keinginan yang kuat untuk menulis dan ide yang bisa dikembangkan. Masalahnya, aku mempunyai ide tapi aku tidak tahu bagaimana sebaiknya ide itu dikembangkan. Sehingga pada akhirnya aku hanya mampu menghasilkan tulisan butut yang hanya pantas di publikasikan di pesbuk.
Aku bukanlah JK Rowling yang penuh imajinasi, begitu kuat imajinasinya sehingga aku dan beberapa anak seantero dunia tidak dapat menyudahi ceritanya sebelum cerita itu tamat. Aku juga bukan seorang Seno Gumira Ajidarma, seorang penulis yang mampu menulis kata hingga 1500 per harinya, secara rutin, dan selalu dihantui deadline setiap waktu. Bukan pula seorang Djenar Maesa Ayu, yang katanya selalu dihampiri inspirasi, bukan ia yang mencari inspirasi.
Meskipun begitu, aku tetap menulis. Tak peduli anggapan orang yang tak bagus. Aku menulis karna aku ingin. Aku menulis karna aku butuh. Rasanya menyenangkan ketika aku bisa menghasilkan cerita dari ide ku sendiri. Sebuah proses yang menciptakan sebuah karya, untuk mengukir sejarah.
Yah, pada akhirnya ‘Aku Ingin Menjadi’ ini sudah terjabarkan, meskipun ‘Aku Akan Menjadi’ masih merupakan misteri Illahi yang akan dijawab oleh waktu. Mungkin nasib yang akan menuntunku atau malah aku yang menuntun nasibku sendiri. Apakah nantinya aku akan tetap menulis hanya karna ingin menulis tanpa peduli tulisanku layak jual atau tidak. Atau mungkin aku akan mengajar sambil tetap menulis disela-sela waktu luangku. Atau mungkin aku akan tetap menjadi wanita karir, atau pebisnis, atau menjadi sesuatu yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Meskipun, tentu saja, itu semua hanya terjadi atas kehendak lillahi ta’ala, dalam artian, jika aku memiliki umur yang panjang untuk menjalaninya. Wallahu ‘alam, hanya Allah yang tahu.
**
Bandung, July 31, 2009
12:38 am
-Kamar-
Orang bilang takdir itu sudah ditentukan. Tentu saja, itu pasti hal-hal semacam jodoh, rejeki, dan kematian, kan? Tapi, siapa jodoh yang dimaksud?? Rejeki seperti apa yang akan kita dapat?? Kapan dan bagaimana kematian akan merenggut nyawa kita??
Jodoh, rejeki dan kematian. Layaknya serial drama, Tuhan telah menuliskan skenarionya dan kita sebagai lakon sandiwara hanya akan mengikuti naskah yang digoreskan pada buku takdir. Apa benar semudah itu, hanya menapak dan tidak berusaha untuk berontak pada nasib yang tidak kita hendaki, misalnya?
Tapi orang bilang, nasib bisa dirubah. Apakah nasib dan takdir adalah dua hal yang berbeda? Apa itu nasib? Apa itu takdir? Nasib seperti apa yang bisa dirubah? Apakah takdir memang mutlak tidak dapat dirubah? Nasib membentuk takdir, atau takdir membentuk nasib? Nasib yang menuntun kita atau kita yang menuntun nasib? Jika memang nasib dapat dirubah, seberapa besar kekuatan kita untuk merubah nasib kita sendiri? Apakah dengan merubah nasib akan merubah takdir kita yang tak terelakkan?
Mungkin nasib kita berubah pada hal-hal yang tidak kita sadari telah merubahnya. Hal-hal yang tidak sengaja. Hal yang kebetulan belaka. Keberuntungan semata. Benarkah?
Begitu banyak tanda tanya yang ada dalam kepalaku. Meninggalkan begitu banyak ruang untuk jawaban. Begitu kosong. Hingga aku tergoda untuk mengisi kekosongan itu dengan jalan hidup ku sendiri, jalan hidup yang akan kutempuh, layaknya aku mengisi kertas putih ini menjadi sebuah cerita yang bertepi.
Ketika aku kecil, aku selalu menjawab “ingin menjadi orang yang berguna” ketika ditanya tentang cita-citaku. Seberapa besar gunaku, aku pun tidak tahu. Karna waktu itu aku hanya tau profesi sebangsa dokter, astronot, atau pilot. Aku tidak ingin menjadi dokter; aku tidak suka bau obat, dan jarum suntik akan membuatku lari terbirit-birit. Aku tidak tertarik menjadi astronot; ketinggian akan membuatku pingsan. Begitu juga dengan pilot; aku selalu bingung arah, bisa saja aku malah mendaratkan pesawat di Samudra Atlantik dan bukannya di India. Maka aku tidak punya pilihan lain selain menjawab dengan kepolosanku.
Menginjak usia tanggung, mungkin SMP, aku pernah bercita-cita menjadi peragawati. Untuk sesaat, tampaknya aku akan serius dengan cita-cita ku ini. Berjalan tegak sambil berlenggak-lenggok dengan buku tebal yang ditaruh diatas kepala untuk melatih keseimbangan. Tapi kemudian aku menjadi tidak tertarik untuk mendalaminya. Aku tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian, tidak pandai bersolek, dan tidak akan tahan kalau muka ku harus ditempeli berbagai macam kosmetik. Lagipula aku tidak cantik. Badanku pun biasa saja, berbakat melar malah.
Ketika SMA, aku menuliskan cita-cita ku pada lembar biodata: Ingin menjadi wanita karir. Semacam profesi sekretaris yang kini aku jalani. Sebelum aku menjalaninya, profesi ini tampak hebat dibenakku. Duduk di depan komputer, mengangkat telepon, bertemu dengan banyak orang, membuat notulen rapat, mengetik dengan cepat (sungguh, aku tak punya keahlian lain yang bisa aku bangga-banggakan di dalam surat lamaranku kecuali keahlian mengetik dengan cepat dan tepat). Namun ketika aku menjalaninya, hal itu menjadi biasa saja. Tak ada yang istimewa dengan pekerjaan itu. Meskipun aku tak menolak kesempatan untuk belajar lebih banyak lagi, untuk menambah pengalaman, teman, dan juga uang.
Sekarang aku malah berpikir, menjadi wanita karir untuk seumur hidupku bukanlah suatu ide yang bagus. Tentu saja, aku ingin memiliki penghasilan sendiri, sehingga aku tidak perlu menggantungkan hidupku pada orang lain, sekalipun itu suamiku sendiri (aku tidak mengerti kenapa aku merasa malu ketika mengetik kalimat tadi). Tapi aku pikir, menjadi wanita karir hanya akan menyita waktu lebih banyak di luar rumah daripada mengurus keluarga sendiri (tuh kan merasa malu lagi!!). Suatu saat nanti, aku harus melepaskan diri menjadi wanita karir, ketika aku sudah berkeluarga dan beranak pinak (masih merasa malu!! Oh ya Tuhan, kenapa sih aku ini??!).
Lantas aku harus mencari cita-cita lain: suatu pekerjaan yang tidak terikat jam kerja dan tidak terlalu menyita waktu di luar. Jika sudah waktunya untuk melepaskan diri menjadi wanita karir, hal apa yang bisa aku lakukan untuk terus beraktivitas, tidak saja untuk menghilangkan kejenuhan, melainkan juga untuk mendatangkan uang??
Hal pertama yang terlintas dalam benaku adalah menjadi pebisnis (bisnis yang tidak terikat jam kerja dan tidak terlalu menyita waktu di luar. Entah apa. Mungkin ngewarung. Itu bisnis, kan?). Ide gila sebetulnya. Walaupun aku percaya bahwa segalanya mungkin terjadi. Aku hanya merasa tidak berbakat dalam berbisnis. Sangat tidak berbakat malah. Kuliah tiga tahun di jurusan Administrasi Bisnis rupanya tidak berhasil mencetakku menjadi seorang pebisnis.
Papaku selalu berkata, “janganlah menjadi pebisnis. Kerja. Mengabdi pada perusahaan, entah swasta entah negara, karna keluarga kita tidak ada yang memiliki jiwa pebisnis. Hanya karyawan, dan bukan juragan.”
Entah jiwa macam apa yang sedang bersemayam dalam keluargaku. Kalau akhirnya aku menuruti nasihat papa, bukan berarti aku mengakui adanya pembenaran dalam kata-katanya. Aku kadang tergelitik dan tergoda untuk terjun menjadi pebisnis, hanya untuk pembuktian saja. Tapi, seperti yang aku bilang, aku sangat tidak berbakat untuk menjadi pebisnis. Maka aku akan mendorong mimpi ini keluar.
Menjadi guru les Inggris merupakan opsi ku yang kedua. Aku punya sedikit kemampuan berbahasa Inggris. Kemampuanku lebih dari cukup untuk mengajar anak-anak usia playgroup. Mungkin bisa sampai tingkat SMP atau SMA, asal kita tidak terlalu banyak berbicara grammar saja. Atau mungkin grammar bukan lagi menjadi penghalang untuk kedepan, jika saat ini aku punya cukup semangat untuk terus belajar. Ide ini tidak terlalu buruk menurutku. Asal mau belajar, segalanya pasti akan terasa mudah. Rasanya menyenangkan kalau kita bisa berbagi ilmu dengan yang lain. Bukankah berbagi ilmu merupakan amalan yang tak akan pernah putus.
Tapi setelah aku pikir, aku bukan orang yang berbakat menjelaskan banyak hal. Aku tidak terlalu pandai berbicara. Meskipun ada teman yang menilaiku sebagai “orang yang ngomong terus tiada henti dengan suara cempreng seperti kaleng rombeng”. Tapi aku tidak merasa begitu. Oh, oke, aku akan jujur, mungkin aku memang begitu, tapi hanya pada orang-orang yang aku anggap nyaman untuk bersuara seperti kaleng rombeng. Selebihnya, aku lebih suka mendengar dan membiarkan kalian yang menjadi kaleng rombeng. Tapi meskipun begitu, aku akan tetap menyimpan ide ini di saku.
Kemudian opsiku yang ketiga, sekaligus yang terakhir untuk saat ini adalah menjadi seorang penulis. Entah novelis, entah cerpenis, yang penting penulis. Aku memang hobi menulis. Tapi—lagi-lagi tapi—aku belum terlalu serius untuk memikirkan bahwa menulis merupakan karir yang harus aku jalani. Memang menyenangkan ketika kita hanya diam di rumah dan membuat cerita. Tetap mengurus keluarga dan bisa menghasilkan uang dari cerita kita, itu pun kalau tulisan kita laku dijual. Untuk saat ini, aku masih ragu.
Menulis itu tidak susah sebenarnya, kalau kita punya keinginan yang kuat untuk menulis dan ide yang bisa dikembangkan. Masalahnya, aku mempunyai ide tapi aku tidak tahu bagaimana sebaiknya ide itu dikembangkan. Sehingga pada akhirnya aku hanya mampu menghasilkan tulisan butut yang hanya pantas di publikasikan di pesbuk.
Aku bukanlah JK Rowling yang penuh imajinasi, begitu kuat imajinasinya sehingga aku dan beberapa anak seantero dunia tidak dapat menyudahi ceritanya sebelum cerita itu tamat. Aku juga bukan seorang Seno Gumira Ajidarma, seorang penulis yang mampu menulis kata hingga 1500 per harinya, secara rutin, dan selalu dihantui deadline setiap waktu. Bukan pula seorang Djenar Maesa Ayu, yang katanya selalu dihampiri inspirasi, bukan ia yang mencari inspirasi.
Meskipun begitu, aku tetap menulis. Tak peduli anggapan orang yang tak bagus. Aku menulis karna aku ingin. Aku menulis karna aku butuh. Rasanya menyenangkan ketika aku bisa menghasilkan cerita dari ide ku sendiri. Sebuah proses yang menciptakan sebuah karya, untuk mengukir sejarah.
Yah, pada akhirnya ‘Aku Ingin Menjadi’ ini sudah terjabarkan, meskipun ‘Aku Akan Menjadi’ masih merupakan misteri Illahi yang akan dijawab oleh waktu. Mungkin nasib yang akan menuntunku atau malah aku yang menuntun nasibku sendiri. Apakah nantinya aku akan tetap menulis hanya karna ingin menulis tanpa peduli tulisanku layak jual atau tidak. Atau mungkin aku akan mengajar sambil tetap menulis disela-sela waktu luangku. Atau mungkin aku akan tetap menjadi wanita karir, atau pebisnis, atau menjadi sesuatu yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Meskipun, tentu saja, itu semua hanya terjadi atas kehendak lillahi ta’ala, dalam artian, jika aku memiliki umur yang panjang untuk menjalaninya. Wallahu ‘alam, hanya Allah yang tahu.
**
Bandung, July 31, 2009
12:38 am
-Kamar-