Aku tak percaya waktu telah berjalan dengan begitu cepat. Apakah tadi aku bilang berjalan? Maksudku berlari. Waktu telah berlari dan meninggalkanku. Memaksaku mengejar, terseok, sebelum akhirnya terkapar.
Aku berharap mendapat malam yang panjang dan bahkan aku ingin membelah tubuhku menjadi 2, 4, 8, 16, seperti amoeba hingga aku dapat melakukan apapun yang kumau sekaligus pada satu malam. Aku ingin selalu melihat purnama. Aku ingin mendengarkan musik hingga aku terlelap, aku ingin melahap semua buku dan semua majalah yang berserak. Aku ingin menonton film apapun yang kusuka berulang ulang. Aku ingin menulis apapun yang ingin aku tulis.
Aku ingin berkarya. Aku ingin bermimpi. Aku tak ingin pagi datang begitu cepat. Biarlah mentari datang terlambat dan embun pagi yang tertunda beberapa saat.
Tapi aku tak berdaya, dan rupanya waktu mengejek ketidak berdayaanku hingga aku terhempas di suatu sudut yang tak henti berdetak. Aku ingin menghentikan detak itu untuk sesat, tapi bagaimana caranya?
Aku memandang jam yang menggantung pada dinding dan aku yakin waktu sedang mengelabuiku.
‘Hei, kau bercanda! Tak mungkin menit banyak terlewat. Kau pasti menipuku!’
Aku berteriak kemudian melotot pada waktu mencoba menakut-nakuti agar mau mengaku telah menipu. Walaupun sebenarnya aku yang menipu diri, bukan waktu.
Waktu seperti hakim yang sedang memegang palu dan siap untuk menjatuhkannya kapan saja dan kepada siapa saja tak terkecuali pada diriku. Waktu telah menyeretku kedalam detik, detik ke menit dan menit ke jam. Waktu telah memaksaku untuk segera merasakan embun pagi dan menghadap mentari. Atau mungkin embun pagi dan mentari yang telah diseret oleh waktu untuk segera berjumpa dengan ku?
Aku tak tahu..
Mungkin waktu tahu..
Karna waktu telah mulai membunuhku secara pernalahan, namun pasti.
**
Bandung, 14 Juli 2009
kamar
Aku berharap mendapat malam yang panjang dan bahkan aku ingin membelah tubuhku menjadi 2, 4, 8, 16, seperti amoeba hingga aku dapat melakukan apapun yang kumau sekaligus pada satu malam. Aku ingin selalu melihat purnama. Aku ingin mendengarkan musik hingga aku terlelap, aku ingin melahap semua buku dan semua majalah yang berserak. Aku ingin menonton film apapun yang kusuka berulang ulang. Aku ingin menulis apapun yang ingin aku tulis.
Aku ingin berkarya. Aku ingin bermimpi. Aku tak ingin pagi datang begitu cepat. Biarlah mentari datang terlambat dan embun pagi yang tertunda beberapa saat.
Tapi aku tak berdaya, dan rupanya waktu mengejek ketidak berdayaanku hingga aku terhempas di suatu sudut yang tak henti berdetak. Aku ingin menghentikan detak itu untuk sesat, tapi bagaimana caranya?
Aku memandang jam yang menggantung pada dinding dan aku yakin waktu sedang mengelabuiku.
‘Hei, kau bercanda! Tak mungkin menit banyak terlewat. Kau pasti menipuku!’
Aku berteriak kemudian melotot pada waktu mencoba menakut-nakuti agar mau mengaku telah menipu. Walaupun sebenarnya aku yang menipu diri, bukan waktu.
Waktu seperti hakim yang sedang memegang palu dan siap untuk menjatuhkannya kapan saja dan kepada siapa saja tak terkecuali pada diriku. Waktu telah menyeretku kedalam detik, detik ke menit dan menit ke jam. Waktu telah memaksaku untuk segera merasakan embun pagi dan menghadap mentari. Atau mungkin embun pagi dan mentari yang telah diseret oleh waktu untuk segera berjumpa dengan ku?
Aku tak tahu..
Mungkin waktu tahu..
Karna waktu telah mulai membunuhku secara pernalahan, namun pasti.
**
Bandung, 14 Juli 2009
kamar
i wish i could stop time but sometimes i just let it goes by
No comments:
Post a Comment