Pagi itu langit kelabu. Tapi tak cukup kelabu untuk menyurutkan langkah kaki orang-orang di suatu stasiun kereta. Penunjuk waktu menunjukkan bahwa tiga puluh menit lagi kereta akan tiba. Aku masih menunggu. Bukan kereta yang aku tunggu, tetapi Arjuna.
**
Arjuna. Lelaki itu telah berhasil membiusku dengan pesonanya pada pandangan pertama. Hampir dua tahun yang lalu, aku menubruknya ketika aku sedang terjalan terburu-buru untuk menggantikan tugas jaga di Café Cinta, tempatku bekerja sebagai waitress.
“Maaf”, ujarku.
Lelaki itu tersenyum.
Aku malah bengong.
Hari-hari berikutnya ia sering datang ke Café Cinta hanya sekedar memesan minuman favoritnya, Cappucino. Sambil menyeruput minumannya, ia sering mengajakku mengobrol dari meja pelanggan. Tempat favoritnya adalah meja sudut belakang. Kuladeni semua gurauannya dari meja kerjaku yang terletak di depan, tempat dimana pelanggan memesan minuman mereka. Kami memang tak pernah berbicara dalam kata, kami berbicara melalui rasa dan isyarat-isyarat yang hanya dimengerti oleh kita berdua. Hanya kita berdua, tak ada orang lain lagi yang mengerti bahasa kami, termasuk pak kepala Café.
Pak kepala Café sangat tidak mengerti kenapa semua minuman yang ku tuang ke dalam gelas meluber, tumpah ruah hingga terkadang membanjiri meja dengan berbagai jenis kopi dan orange juice. Hal ini membuat semut-semut menari riang gembira tetapi membuat pekerjaan ku jadi dobel melelahkan karna harus mengelap meja dan mengepel lantai setiap jamnya.
Hari berganti nama. Kami berdua terus mengirim rasa. Semut-semut menari semakin gembira. Pak kepala Café semakin tidak suka. Dan aku pun dipecat dari Café Cinta.
**
Masih ada waktu lima belas menit lagi sebelum kereta datang. Hujan mulai turun. Posisiku berdiri saat ini sangat tidak melindungiku dari tumpahan air langit. Tapi aku tidak akan beranjak. Aku tidak ingin membuat Arjuna kesulitan menemukanku.
Orang-orang berteduh. Aku malah membiarkan diriku diguyur hujan.
Arjuna, kau akan datang kan?
Aku akan menunggu.
**
Untunglah kami masih sempat bertukar nomor hp. Meskipun seperti biasanya, tak banyak yang bisa kami ungkapkan lewat kata. Kami hanya merasa.
Sampai saat itu tiba, aku perlu mengirimkan pesan yang tidak bisa aku kirimkan hanya dengan rasa. Aku perlu kata-kata yang terangkai dengan jelas, agar ia juga bisa menerima pesanku dengan jelas. Kukirim satu buah pesan singkat padanya, yang berbunyi:
Aku akan pergi ke suatu tempat yang jauh. Mungkin aku takkan pernah kembali lagi, aku tak tahu. Kalau kau mengganggap hubungan kita pantas untuk dipertahankan, datanglah ke stasiun pada Sabtu pagi. Disana kau akan menemukanku dengan balutan jaket merah marun, kuharap warna itu cukup mencolok untuk dilihat di stasiun yang padat manusia. Aku juga akan mengenakan kalung liontin yang pernah kau kasih waktu dulu. Kau masih menyimpan pasangan liontinnya kan? Kuharap kita segera bertemu. I miss you.
Tak lama, aku menerima balasannya:
Reports:
Arjuna
7:17 PM - Delivered
Bukan dari Arjuna. Tapi paling tidak aku tahu pesannya telah tersampaikan. Satu hari. Dua hari. Lima hari masih saja tak ada balasan. Arjuna, apa kau sudah membaca pesanku?
Untuk lebih meyakinkan, ku kirimkan pesan yang sama disetiap malam perjumpaan kami… melalui sela-sela mimpi kami...
**
Sepuluh menit lagi. Langit masih menumpahkan airnya yang kelabu. Sebentar lagi aku akan membeku.
Arjuna, dimana kau? Apakah menurutmu warna merah marun ini menjadi kurang mencolok setelah diguyur hujan sehingga membuatmu sulit menemukanku? Arjuna, aku masih disini… menunggumu.
Aku masih ingin menunggu.
**
Hampir dua tahun kita menjalin hubungan. Tak perlu banyak kata yang dihamburkan. Kita berdua sepakat, kata hanyalah omong kosong belaka; rasa lebih bermakna.
**
Lima menit. Hujan semakin deras.
Arjuna, kumohon cepatlah datang.
Terlambat. Kereta datang lebih cepat dari yang dijadwalkan. Kereta datang untuk membawa ku pergi ke suatu tempat, bersama angan dan mimpi kita, angan dan mimpi ku bersama Arjuna.
Ya Tuhan, lelaki itu benar-benar tak datang!!!
Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi. Kuhela napas dalam-dalam. Kupaksakan kakiku melangkah melewati pintu kereta. Air menetes-netes dari pakaianku yang basah. Pada saat-saat kritis seperti ini aku masih sempat berkhayal Arjuna akan datang dan kemudian menggamit lenganku, menyeretku keluar dari kereta dan memohon padaku untuk tidak pergi, memelukku lalu mencium bibirku…
Aah… seperti film india saja. Otakku sudah kacau rupanya!
Lamunan buyar dan aku terpaksa menerima fakta bahwa tubuhku di dorong-dorong oleh penumpang yang tidak sabar, bukan oleh Arjuna seperti lamunanku barusan. Keadaan ini diperparah dengan aroma dalam kompartemen yang baunya lebih dari tujuh rupa: bau keringat, lembap, anyir, koyo, atau entah bau apa lagi. Aku sedang tidak ingin menandai bau-bauan dan mendeskripsikannya pada kalian.
Aku duduk dengan pakaian super basah sampai orang-orang yang duduk disampingku melotot. Mereka pasti lebih merasa sebal daripada heran kenapa bajuku bisa sampai basah begini. Tapi toh biar saja, aku tak peduli. Aku menatap keluar menembus jendela berharap Arjuna muncul. Kereta mulai bergerak perlahan. Bagi penumpang lain, ini merupakan pertanda bahwa kereta akan membawa mereka sampai pada tujuan, tapi bagiku ini adalah pertanda bahwa kereta akan memisahkan aku dengan Arjuna.
Aku sangat berharap ia datang, tapi ia malah tak datang. Sebagai gantinya, suara dalam kepalaku lah yang datang. Suatu hal yang paling tidak aku harapkan kedatangannya.
Lihat kan, dia berkhianat!
“Tidak, kau salah kepala. Dia tidak berkhianat, dia tak akan pernah berkhianat. Ini hanya masalah kereta yang datang terlalu cepat”.
Dasar perempuan bodoh! Kereta ini hanya datang lima menit lebih cepat dari jadwal. Aku ragu lelaki itu akan datang meskipun kamu menunggunya lebih lama lagi; setahun, dua tahun, seumur hidup!!
“Aku yakin dia takkan pernah mengingkari asa yang pernah kita buat”.
Mana buktinya? Aku pribadi lebih menganggap semua asa itu hanyalah omong kosong belaka…
“Itu bukan omong kosong. Kita berdua tahu ada bahasa yang bisa disampaikan lebih dari sekedar kata. Kata hanyalah penegas, yang kami butuhkan hanya rasa”.
Tapi rupanya rasa tak cukup kuat untuk membawa dia kesini, kan?
“Mungkin, dia punya alasan…”.
‘Mungkin’ adalah satu kata yang paling ingin aku dengar. Kelihatannya kau sangat tidak yakin kali ini.
“Dan hal yang paling ingin aku yakini adalah membuatmu diam.”
Kau tak perlu menyuruhku diam, nona. Lelaki itu sendiri yang telah membuat dirinya diam. Kau juga sama saja. Diam adalah bentuk komunikasi yang paling aneh menurutku.
“Sudahlah, aku lelah…”
Lelah pada apa? Lelah karna asa yang telah kau buat?!
“Kumohon diamlah, kau membuatku ingin menangis”.
Menangis saja. Hidup ini indah. Kau bisa menangis sepuas-puasnya.
“DIAM!!”
Aku mempererat cengkraman liontin berbentuk hati pada genggaman. Ujungnya yang runcing menusuk tanganku. Tapi aku tak peduli. Apa saja kulakukan agar suara dalam kepalaku berhenti mengoceh, dan tampaknya usaha itu berhasil dengan menghasilkan sedikit efek samping; rasa perih ini menjadi dobel: di hati dan juga di telapak tangan.
Lalu samar-samar aku mendengar lagu One Last Cry yang berasal dari salah satu hp penumpang. Rupanya dia menjadikan lagu itu sebagai nada deringnya.
One last cry before I leave it all behind
I gotta put you out of my mind this time
Stop living a lie.. I guess I'm down to my last cry…
“Ah, lagu yang sangat membantu”, ujarku geram.
Kualihkan rasa perih ini dengan mengamati petak-petak kaca jendela kereta, berharap pemandangan di luar sana bisa menghiburku. Namun rupanya lagi-lagi aku keliru. Hujan yang deras, kereta yang bergerak cepat, ditambah dengan kaca yang kotor dan berembun membuat satu-satunya hal yang kuharap bisa menghiburku terlihat kabur dan tak jelas. Aku malah berharap hujan turun dalam gerbong kereta yang aku tumpangi, agar aku bisa menangis sepuas-puasnya dan tak ada orang yang bertanya kenapa.
Menit berlalu. Kereta semakin bergerak cepat ke arah utara. Warna kelabu masih bergelayut pada mega menumpahkan hujan deras yang mengetuk-ngetuk jendela dan atap kereta; seolah alam pun ingin melukiskan perasaan yang sedang aku alami sekarang. Dalam pakaian yang masih basah kuyup, tubuh yang menggigil, mata yang sembap dan hati yang memerah pedih, aku berbisik lirih: “hujan, sampaikan salam rinduku padanya”.
Tut... Tut.. Gejes Gejes.
**
Bandung, Sabtu dini hari
10 April 2010
02:00 AM
-kamar-
Trimakasih untuk orang-orang yang telah menginspirasi:
Brian Mc Knight untuk lirik lagu One Last Cry nya.
Extreme untuk More Than Words nya
Sapardi Djoko Darmono atas puisi indahnya: “Dalam Diriku” dan “Pada Suatu Pagi”.
Untuk orang-orang yang pernah berbagi cerita secara langsung ataupun tidak langsung, nta ucapkan cup cup emuah emuah.. ^^
PS: Pernah juga dipublikasikan di oase kompas
No comments:
Post a Comment