Category

cerpen (8) curahan hati (5) english (3) lirik (2) music (2) puisi (14) review (1)

Sunday, 23 May 2010

Surat Untuk Kekasihku

Sudah hampir satu bulan langit terus seperti itu; kelabu. Sambil terus mengucurkan airnya. Kadang besar, kadang kecil. Namun tak pernah benar-benar berhenti.

Langit sedang berkabung.

Begitulah kata orang-orang satu kampung yang merasa heran karena hujan terus turun di bulan ini. Semestinya sekarang adalah musim peralihan, dimana langit hanya sesekali menumpahkan airnya. Meskipun hujannya tidak begitu besar—hanya berupa rintik gerimis atau tetes yang lebih besar dari embun—tapi hujan yang enggan berhenti ini telah membuat air sungai meluap dan hampir meluber ke jalan. 

Sementara di Kampung Seberang, mentari sedang cerah-cerahnya bersinar. Membuat beberapa ekor burung melompat riang dari satu pucuk pohon ke pucuk pohon lainnya sambil terus menyapa hari dengan gaya mereka yang jenaka.

Ia tahu seharusnya hujan tak perlu bertingkah seperti ini. Ia merasa dirinya patut disalahkan karena hujan yang tak mau berhenti. Dan ia sudah putuskan akan bertanggung jawab pada keadaan.

Maka pada suatu pagi, ketika hari masih sama seperti kemarin, ia melangkah melewati jembatan di atas sungai yang airnya menghanyutkan sepasang sandal, daun-daun dan sampah-sampah plastik. Disana, di sepanjang pinggir sungai, berdiri sekelompok orang yang sedang bergotong royong, melakukan berbagai hal untuk mengurangi ancaman banjir.

Tetes-tetes hujan membasahi rambutnya. Ia berhenti melangkah sejenak, membiarkan dirinya berdiri bersama hujan, merasakan tiap tetesnya merembes ke dalam pori-pori lalu menyentuh hatinya. Matanya tertutup, dengan wajah agak mendongak ke langit seakan meminta lebih banyak lagi bulir-bulir yang jatuh ke dalam jantungnya, nadi-nadinya, hingga mengalir bersama darah di dalam tubuhnya. Begitu lembut. Begitu syahdu. Dan hatinya pun bergetar.

Cinta, sebesar inikah rasa rindumu?*

Sudah cukup lama ia berdiri mendengarkan suara yang disampaikan oleh hujan. Mungkin sudah satu jam. Ia tak tahu. Tapi begitu ia membuka matanya, ia melihat keadaan masih tetap sama: hujan yang terus turun, sepasang sandal, daun-daun dan sampah-sampah plastik yang hanyut, serta orang-orang yang sedang bergotong royong. Ia teringat pada tujuannya datang ke tepi sungai, lalu melanjutkan melangkah.

Ia mulai berbicara ketika mendekat. Orang-orang berhenti bergerak. Tak lama, beberapa orang tertawa. Ada pula yang menyeringai. Yang lainnya mendengus tak percaya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian ia berlalu dan orang-orang mulai bergerak lagi, atau pura-pura bergerak menyibukkan diri sambil menunggu ia lenyap di tikungan.

Lenyapnya si pembawa berita menjadi pertanda bagi orang-orang itu untuk kembali bergerombol, bergosip tentang hal yang baru saja mereka dengar.

Hah, apa katanya?

Kasihan, dia gila.

Mungkin dia geger otak.

Otaknya sudah beku.

Atau mungkin dia sudah tak punya otak. Otaknya ikut hanyut bersama air hujan.

Hahaha…


Setelah puas berkomentar, kerumunan pun bubar. Beberapa orang masih senyam-senyummengingat sepenggal kalimat tentang apa yang didengarnya barusan: Tetes-tetes hujan ini adalah rindu yang disampaikan oleh kekasihku *.

Hah, ada-ada saja!

***

Dari sini ia bisa melihat keadaan di luar yang terus diguyur hujan. Jendela kamarnya memang selalu dibiarkan terbuka, agar ia bisa leluasa mendengarkan irama hujan. Agar ia bisa mendengar suara kekasihnya yang tak terucapkan. Pada saat seperti ini, ia selalu kembali mengutuki dirinya yang sok pahlawan dan sok tegar.

Aku membiarkannya pergi karena aku mencintainya.

AARGHH..!! KEPARAT!!!

BUG! BUG! BUG!

Ia terus meninju tembok sampai tangannya biru-biru. Berhenti meninju, lalu mulai mengibas-ngibaskan tangannya dan meringis kesakitan. Ia berputar dan matanya menemukan hpnya tergeletak di kolong meja. Merangkak, mengambil hp, lalu ubun-ubunnya terantuk ketika ia mencoba untuk berdiri.

Masih saja ia menyumpah-nyumpah ketika memencet tombol-tombol hp dengan cepat, mencari satu nama, lalu menemukannya:

Cinta
087879056460

Ia tekan satu tombol dengan ujung jempolnya. Menyalakan fungsi loudspeaker, lalu terdengar sebuah suara:

nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi. The number you are calling is not active or out of coverage area. Please try again later. Tut.. tut.. tut…

Sudah seperti itu sejak sebulan yang lalu. Dan ia tetap tak punya jawaban kenapa nomor Cinta tak bisa dihubungi.

Mungkin dia telah benar-benar pergi. Sebuah suara memenuhi kepalanya. Ia menampiknya. Ia tak ingin mendengarnya. Ia ingin mengabaikannya.

Ia berbalik dan menyimpan hpnya yang kali ini ditaruh diatas meja. Mengambil sebatang rokok, menyulutnya, lalu menghisapnya dalam-dalam sebelum menyemburkan asap putih dari mulutnya. Ketika ia melakukannya, ia terlihat seperti ingin menyemburkan rasa frustasinya juga, berharap rasa itu ikut melayang bersama sekumpulan asap rokok bau dan pergi menembus hujan.

Aku membiarkannya pergi karena aku mencintainya .

Sederet kalimat itu terus ia lafalkan seperti jimat disetiap detik penuh sesal. Berharap ada sedikit pembenaran disana. Berharap bisa mendapatkan pembelaan untuk sebelah jiwanya yang sok pahlawan dan sok tegar.

Ia tak tahan. Ia mengambil kertas dan pulpen dan mulai menulis di mejanya yang berantakan: satu kotak tembakau, asbak yang sudah penuh, bingkai photo berdebu, tumpukan buku-buku dan kertas-kertas, dan setengah-gelas kopi susu yang suah tidak mengepul sisa tadi pagi.

Sudah setengah jam ia mencoba menulis, tapi kertas HVS itu masih nyaris bersih. Hanya ada beberapa kata yang ditulisnya dengan tulisan ceker ayam dan penuh coretan disana-sini. Rokoknya masih terjepit di tangan kirinya, mengeluarkan asap berbentuk spiral ke udara. Tangan kanannya sibuk memainkan pulpen, membuat suara tuk-tuk-tuk yang cepat ketika ujung pulpen menyentuh permukaan meja. Matanya tampak fokus ke bingkai photo. Dua orang terbingkai disana. Satu perempuan dan satunya lagi laki-laki.

Yang perempuan sedang tersenyum dan mengacungkan kedua jari tangan kananya. Pundaknya dirangkul oleh laki-laki disebelahnya, tersenyum juga. Kedua orang itu memakai kalung liontin, yang ujungnya menyentuh tulisan ‘Cinta’ dan ‘Arjuna’ dibagian dada masing-masing, yang dicetak-sablon pada kaos yang mereka pakai.

Lama-lama tatapannya pada bingkai mengabur. Matanya mulai menerawang. Pikirannya sedang melayang ke suatu jaman.

***

Menurutku Paris merupakan kota romantis yang indah! Itu menurut buku yang aku baca. Katanya, disana banyak orang yang berjalan kaki, tidak seperti disini yang selalu berkendara dan sangat polutif !

Polutif ?

Iya, polutif . Maksudku, udaranya sangat dipenuhi oleh polusi... Memangnya istilahnya bukanpolutif yah ?

Entahlah. Aku baru dengar.

Aku juga. Hahaha.. Aku memang suka sok tau yah !

Hahahaaa..

Terus dari Paris aku bisa mengunjungi makam seniman dan ilmuwan terkenal, Mas Da Vinci. Aku dengar ia dikuburkan di sana. Siapa tau aku bisa dapat wangsit untuk menulis, meski sebenarnya dia seorang pelukis. Kau kan tahu kalau aku suka menulis. Tapi aku ga tahu makamnya yang mana. Apakah mereka menjual peta kota? Tapi aku juga ga bisa baca peta. Aku tergolong orang yang benar-benar buta-peta. Orang bilang, itu memang sudah tabiat perempuan. Hahaha.. Pokonya kalau aku kesana, kamu harus ikut bersamaku dan jadi guide, biar aku ga perlu nyasar . Aku kan orang yang selalu bingung arah. Aku….



Kamu terus saja nyerocos tentang Paris. Geli sendiri ketika kamu menyebut namaMas Da Vinci. Dan ngomong-ngomong, kamu kan memang orang yang tak mengerti arah. Menunjuk Utara pun kamu selalu salah. Aah.. aku jadi ingat, itukan tebak-tebakan favoritku. Biasanya kamu selalu kalah dan aku akan memintamu untuk mentraktirku makan bakso Malang. Tapi kalau kamu tetap nekat mau pergi kesana, yaaa.. terserahlah .

***

Setelah lewat satu jam ia telah berhenti menulis. Menegakkan punggunya, dan meregangkan jari-jarinya—rokoknya sudah lama mati tergeletak di asbak. Lalu ia mengambil surat dan mulai membaca:


Halo Cinta,

Bagaimana kabarmu hari ini? Semoga kamu senantiasa sehat dan bahagia disana. Akupun baik-baik saja, jadi kau tak perlu mengkhawatirkanku. Aku hanya sedikit rindu padamu. Maksudku, sedikit lebih banyak dari rasa rindumu padaku.

Aaahh.. Mungkin bagimu ini terdengar basi, atau kamu menganggap aku terlalu berbasa-basi dengan menyanyakan pertanyaan standar tentang kabar. Tapi aku memang tidak tahu bagaimana memulai kalimat pembuka yang baik. Karena seperti yang kamu tahu, aku bukanlah tipe laki-laki yang pandai berpujangga. Untuk menulis satu kalimat panjang pun susahnya minta ampun. Kalau kamu ada disini, kamu bisa melihat tetes-tetes peluh yang membanjiri dahiku dan terus mengalir hingga ke pipi meski sekarang udaranya sedang dingin. Tapi sayangnya kamu tidak disini, untuk itulah aku menulis surat padamu. Aku ingin menjelaskan tentang hal yang seharusnya waktu itu aku jelaskan.

Maaf, karena aku tak datang pada hari kau menungguku di stasiun. Aku juga tak membalas semua bentuk pesan yang kamu kirimkan padaku. Memangnya aku bisa berbuat apa? Apa aku harus bilang, “maaf, Cinta. Aku tak bisa menemanimu pergi karena masih banyak yang harus aku kerjakan disini.” Atau mungkin, “ya aku akan datang. Tunggulah disana dan aku akan mencegahmu pergi”.

Aku tahu sebenarnya kamu mengharapkan aku untuk datang, memohon agar kamu tidak pergi dan tetap tinggal disini bersamaku sampai mati. Tapi aku tidak melakukannya, Cinta. aku membiarkanmu pergi karena aku mencintaimu.

Ya, itulah sebabnya aku tak datang ke stasiun sabtu itu. Aku tak ingin menghalangi dan membuatmu melangkah dengan ragu. Paris adalah cita-citamu, tujuan hidupmu. Suatu tempat yang bisa membuatmu bercerita dengan mata berbinar-binar dan emosi yang menggebu-gebu. Maka kubiarkan kamu pergi meski hati tak suka. Kubiarkan kamu pergi meski hati berteriak “tidak!”.

Dan sampai sekarang pun aku tak yakin yang telah kuputuskan adalah benar. Satu-satunya hal yang benar adalah aku merindukanmu, Cinta. Kamu juga pasti begitu, kan? Hujan yang terus turun sejak sebulan yang lalu telah mengatakannya kepadaku. Dan aku mendengarnya. Aku merasakannya. Meski orang-orang tidak mempercayaiku dan menggapku gila karna mengatakan kepada mereka bahwa air hujan ini adalah rindu yang disampaikan olehmu*, tapi aku tahu bahwa sebenarnya merekalah yang tidak peka.

Wah.. lihat, Cinta! Akhirnya aku telah berhasil menulis beberapa kalimat. Bahkan beberapa paragraph. Orang bilang, seseorang akan mendadak menjadi pujangga kalau mereka sedang berurusan dengan masalah cinta. Aku tak tahu apakah itu berita baik atau buruk untukku. Tapi aku punya satu puisi buat mu, semoga kamu suka. Dengar ini baik-baik ya:

“Cinta, rindu yang kau sampaikan melalui hujan sudah aku terima*. Kalau kau merefleksikan rasa rindu pada tiap-tiap tetesnya, pastilah rindumu itu dahsyat sekali hingga nyaris menenggelamkan Negeri Pelangi.

Pulang, pulanglah Cinta pada pelukku. Ciptakanlah sejuta warna di Negeri Pelangi, yang bahkan warna-warninya tak pernah terlihat oleh dunia selain warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu.”


Nah, bagaimana? Apakah puisi tadi cukup romantis buatmu? Apakah itu bisa membuatmu mengingatku? Karna aku ingin kamu selalu mengingatku, supaya kamu gak kebablasan disana dan ingat untuk pulang. Pulang ya, Cinta. Aku merindukanmu.

Salam rindu, peluk dan cium,

-Arjuna- 



Ia tersenyum, lalu melipat suratnya menjadi bentuk segi-empat. Ia tak membutuhkan amplop karena memang tak ada alamat yang harus dituliskan, dan ia yakin tak akan ada satupun pak pos yang mau mengantarkan surat tanpa alamat. Ia juga meragukan kisah klasik tentang burung-merpati-pengantar-surat. Bagaimana kalau burung-burung itu salah alamat? Atau kemungkinan yang lebih buruk, mereka bisa jadi telah ditembak mati oleh sekelompok pemburu kurang kerjaan sebelum suratnya sampai.

Maka setelah dilipat dengan rapi, surat itu ia simpan di dalam lemari pakaian, bersama tiga buah surat lainnya yang serupa. Surat yang telah ia tulis di mingu-minggu sebelumnya. Surat yang berisikan perasaan, harapan dan rasa sesalnya. Surat yang ditujukan hanya untuk satu orang saja; surat untuk Cinta.


**

Bandung, kamar, 23 May 2010
Ketika hujan tak juga berhenti.


(*) berdasarkan cerpen sebelumnya: Hujan Air Mata: “hujan, sampaikan salam rinduku padanya”.


Catatan: made by request. Cerpen ini dibuat karena ada permintaan dari teman-teman untuk melanjutkan cerpen Hujan Air Mata. Mudah-mudahan ceritanya nyambung yah.. ^^

Sunday, 16 May 2010

Sepotong Kue Cokelat Untuk Mae

Sekarang sudah pukul sebelas lewat sedikit. Kurang dari satu jam lagi ulang tahunnya akan berakhir. Mae sedih membayangkan perayaan ulang tahun tanpa Mama. Sedih kalau harus meniup lilin seorang diri. Sedih karena tak ada orang yang menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun untuknya. Tapi ia masih bisa tersenyum melihat sepotong kue coklat teronggok di depannya. Ditemani oleh satu atau dua ekor semut yang belum berhasil dibunuhnya pakai jari telunjuk.

Sore tadi, ketika hujan baru saja turun, ia berlari ke warung seberang rumah. Tanpa pelindung, tubuhnya dibiarkan basah terkena runtuhan air hujan. Disakunya ada uang dua ribu tiga ratus rupiah. Itu tabungan sepanjanag hidupnya yang telah berhasil ia keluarkan dari dalam celengan. Ia menemukan banyak pilihan kue disana. Tapi ia hanya sanggup membeli kue coklat paling kecil yang harganya seribu delapan ratus, jadi ia masih punya sisa lima ratus rupiah untuk dikembalikan lagi ke celengan ayam.

Ia gembira mendapatkan kue coklat favoritnya. Didekapnya erat-erat pada tangannya agar tidak terkena tetesan air hujan. Ia kembali ke rumah dengan rambut dan pakaian yang basah. Tapi kue itu tetap kering tak tersentuh hujan. Ia simpan kue itu di atas meja. Berdiri dengan mata berkaca-kaca. Entah apa yang membuatnya terharu. 

Mama… cepatlah pulang. 

Ini adalah ulang tahunnya yang ke sembilan. Angka sembilan merupakan angka tertinggi dari deret bilangan satu desimal. Angka sembilan merupakan angka keramat. Angka sembilan dipercaya bisa membawa keberuntungan. Begitulah kata orang-orang. Tapi Mae bukan anak tertinggi di kelasnya. Ia jelas bukan anak keramat. Ia juga tidak merasa beruntung hari ini. Ia masih menunggu Mama pulang.

Seingatnya, ini pertama kalinya Mama tak kunjung pulang hingga larut malam. Biasanya Mama sudah berada di rumah paling telat pukul delapan. Menyiapkan makan malam untuk mereka berdua, lalu pergi ke alam mimpi ketika jam menunjukkan tepat pukul sembilan. Begitulah hari-hari yang selalu mereka lalui bersama. Hanya mereka berdua, Mae dan Mama.

Mae tidak pernah mengenal sosok Ayahnya. Malah saat usianya baru menginjak enam tahun, ia tidak mengerti, apa itu Ayah. Suatu waktu ia sempat bertanya pada gurunya di sekolah, ia mendapat penjelasan bahwa ayah adalah orang yang selalu mendampingi ibu, orang yang berkewajiban menafkahi keluarga . Seingat Mae, yang menafkahi keluarga adalah Mama. 

Kalau begitu, ayah juga berarti Mama . Pikirnya waktu itu. 

Tetapi kata bu guru, ayah adalah seorang laki-laki, sedangkan ibu adalah perempuan .

Mae menjadi bingung.

Lalu ia teringat akan satu hal; ia memang sering melihat beberapa laki-laki datang ke rumahnya, dan laki-laki itu mendampingi mama! Pekiknya girang.

Tapi ada begitu banyak laki-laki yang sering mengunjungi rumahnya, dan mereka selalu mendampingi mama. Sisa pertanyaan yang ada di kepalanya ia lontarkan.

“Bu guru, apakah ayah bisa berganti-ganti setiap minggunya?”

Bu guru hanya menatapnya diam.

Mae menjadi takjub pada dirinya sendiri. Inilah satu-satunya pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh gurunya.

Ketika Mae sudah tiba di rumah, ia langsung menceritakan kejadian seru yang dialaminya di sekolah. Ia menceritakan seluruh perbincangan antara ia dan bu guru. Semua ceritanya diselingi dengan tawa renyah dari mama, kadang terbahak sambil mengacak-ngacak rambut Mae.

“…dan waktu Mae menanyakan tentang ayah Mae yang selalu berganti-ganti setiap minggu, bu guru itu tak bisa menjawab! Apa berarti bu guru bodoh Ma’? Apa Mae sudah lebih pintar? Mae pintar kan Ma’?”

Senyum Mae semakin merekah, sedangkah senyum di wajah Mama telah menghilang. Mama hanya menatapnya diam. Tapi Mae tidak heran. Ini bukan pertama kalinya Mama tak bisa menjawab pertanyaannya. Aku memang anak yang pintar ! Pikir Mae girang.

Mama.. cepat dong pulang… Aku kesepian.

Sebentar lagi pukul setengah dua belas. Jarum detiknya terus menyeret diri dari kiri ke kanan atau kanan ke kiri. Meninggalkan jejak pada angka di belakangnya, membuat jarum menit nyaris menyentuh angka enam. Mae ingin mengambil jam di dinding, melepaskan batu baterainya dan membiarkan jarum detik itu berhenti bergerak sampai mama pulang. Lalu ia akan memasangkan batu baterainya lagi ketika mama sudah berada disampingnya, siap untuk meniup lilin bersamanya.

Tapi tubuhnya tidak cukup tinggi untuk menggapai. Dan meja atau kursi itu terlalu berat untuk diseret dan dijadikan pijakan. Maka ia putuskan untuk membiarkan detik itu terus berlalu tanpa ampun. Tiga puluh menit lagi, harapannya untuk meniup lilin dan memakan kue bersama Mama pupus sudah.

Tiba-tiba Mae mendengar suara dan terlonjak. Matanya awas mengitari sekitar ruangan. Tak ada apa-apa disana. Ia tidak memerlukan usaha yang keras untuk melihat keseluruh ruangan. Rumahnya tergolong dalam kategori rumah-teramat-sangat-sederhana-sekali. Atapnya dari seng dan telah bolong disana-sini, membuat tetes-tetes hujan bisa terjun bebas ke lantai semen. Tempat sekarang ia duduk meringkuk beralaskan karpet usang berukuran dua ke dua .

Mae tidak melihat apapun. Ruangan memang gelap, listrik padam sedari tadi karena hujan yang tak juga berhenti. Satu-satunya penerangan hanyalah berasal dari nyala api lilin. Lilin berwarna putih yang biasa dipakai kalau rumahmu gelap. Lilin yang akan ditiupnya ketika Mama sudah tiba. 

Tapi Mama tak kunjung tiba.

Ia masih mencari-cari dalam gelap, menajamkan telinganya, menebak-nebak apakah sesuatu yang membuat suara itu masih disana. Mae tidak takut setan. Karena kata Mama, setan tidak akan menghampiri anak yang baik. Tapi itu dulu sekali waktu umurnya masih lima tahun. Ia menyesal karena tadi pagi ia tak sempat bertanya, Mama, apakah hari ini aku masih menjadi anak yang baik ?

Ia juga tidak takut sama pencuri. Tak ada satupun barang berharga yang bisa dicuri di rumah ini. Tapi dulu Mama pernah berkata bahwa Mae adalah satu-satunya hal yang paling berharga buat Mama. Ia menjadi takut kalau-kalau pencuri itu malah menculik dirinya, lalu tubuhnya dipotong-potong untuk dijadikan bakso isi cincang kalau pencuri itu tidak berhasil mendapatkan uang tebusan yang sepadan dari Mama. 

Pikirannya terus melayang ke Mama. Tadi pagi mamanya sempat berkata bahwa ia akan membelikan sebuah kue coklat kesukaannya ketika pulang nanti. Lengkap dengan lilin berbentuk angka sembilan tertancap diatasnya. Mae senang, dan sedari siang, ia terus membayangkan akan menyanyikan lagu ulang tahun, meniup lilin berangka sembilan, dan memakan kue coklat itu dengan lahap bersama mama.

Tapi kue belum juga datang. Mama pun belum pulang. Mungkin kuenya besar sekali sampai-sampai mama kesulitan membawanya. Mungkin Mama sedang berteduh karena hujan. Mungkin Mama mau memberikan kejutan. Mungkin…

Dan akhirnya Lonceng pun telah berdentang di kejauhan. Sekali… dua kali… tiga kali… dua belas kali…

Lonceng telah berhenti berdentang,
kereta kencana berubah menjadi labu, peri menjadi debu.
Mama, mama, cepatlah kau datang,
mari kita berdendang sebait lagu ulang tahun untukku.



Mama belum juga pulang .
Tak ada gunanya lagi menunggu. Mae mendesah pelan. Kekecewaannya mengganjal di tenggorokan, tak bisa ia telah bulat-bulat. Ia menatap kuenya, lalu lilinnya. Kue coklat itu terlalu kecil untuk dipasangi lilin. Meskipun lilinnya sudah mengecil karena sudah terbakar sejak lama, kue itu tetap saja lebih kecil.

Ia mengambil kue itu, menaruhnya di samping lilin, memejamkan matanya, melafalkan sebuah doa dalam hati, dan…

Fuuuuhh…

Api telah padam. Ruangan menjadi gelap pekat.

Ia menunggu. Tak ada tanda-tanda orang yang akan berseru “Kejutan!” tak ada nyanyian Selamat Ulang Tahun. Tak ada ciuman hangat dari Mamanya. Tak ada. Yang ada hanyalah sepotong kue coklat yang ia beli tadi siang. Yang ada hanyalah pekat. Yang ada hanyalah tak ada. Ia nyalakan lagi lilinnya. Apinya menari-nari di tembok kusam. Hampir separuh sisi tembok itu basah terkena rembesan air hujan dan meninggalkan bercak-bercak jamur kehitaman. Dalam gelap, nyala api itu tampak seperti sebuah tarian yang mengejek kesendirian Mae.

Mae mencomot kuenya, memasukannya ke dalam mulutnya dan mulai mengunyah. Kuenya habis dalam hitungan detik. Tak ada lagi yang tersisa selain kesepian, kesedihan, dan batang lilin yang hampir habis. Ia merapatkan tubuhnya yang menggigil karena lapar dan kedinginan. Hujan masih turun dengan gigihnya sambil diiringi angin ribut yang memecah kesunyian, membuat seng-seng bersuaraprang-prang-prang . Mae tak punya sisa tenaga untuk takut terhadap apapun. Pikirannya melayang ke Mama. Batinnya menuntut kehadiran Mama. Tubuhnya membutuhkan dekapan Mama. Tak terasa, air matanya jatuh menetes, membayangkan tentang entah apa yang mungkin terjadi pada Mama yang tak kunjung pulang.

Mama, cepatlah pulang.

Ternyata Mama tak juga pulang.

____

Malam bergeser dengan pelan. Nyanyian hujan mulai terdengar samar-samar. Mae sudah kelelahan menunggu. Kepalanya terkulai di meja ditemani oleh satu atau dua ekor semut yang terus berdatangan, tergoda oleh manisnya remah-remah kue coklat yang tercecer di meja. Batang lilin semakin mengecil dan dalam lima menit apinya padam. Mae, anak yang telah berumur sembilan tahun lebih sehari, sudah tertidur tanpa perlu menyambut kegelapan.

Sementara itu dikejauhan, kira-kira tujuh kilometer dari tempat Mae tertidur, sirine ambulans sedang meraung-raung membawa kabar.


**


Bandung, 14 May 2010 - 10:09 PM
Kado ulang tahun untuk kaka ku





*Pernah di muat di Oase Kompas