Category

cerpen (8) curahan hati (5) english (3) lirik (2) music (2) puisi (14) review (1)

Sunday, 16 May 2010

Sepotong Kue Cokelat Untuk Mae

Sekarang sudah pukul sebelas lewat sedikit. Kurang dari satu jam lagi ulang tahunnya akan berakhir. Mae sedih membayangkan perayaan ulang tahun tanpa Mama. Sedih kalau harus meniup lilin seorang diri. Sedih karena tak ada orang yang menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun untuknya. Tapi ia masih bisa tersenyum melihat sepotong kue coklat teronggok di depannya. Ditemani oleh satu atau dua ekor semut yang belum berhasil dibunuhnya pakai jari telunjuk.

Sore tadi, ketika hujan baru saja turun, ia berlari ke warung seberang rumah. Tanpa pelindung, tubuhnya dibiarkan basah terkena runtuhan air hujan. Disakunya ada uang dua ribu tiga ratus rupiah. Itu tabungan sepanjanag hidupnya yang telah berhasil ia keluarkan dari dalam celengan. Ia menemukan banyak pilihan kue disana. Tapi ia hanya sanggup membeli kue coklat paling kecil yang harganya seribu delapan ratus, jadi ia masih punya sisa lima ratus rupiah untuk dikembalikan lagi ke celengan ayam.

Ia gembira mendapatkan kue coklat favoritnya. Didekapnya erat-erat pada tangannya agar tidak terkena tetesan air hujan. Ia kembali ke rumah dengan rambut dan pakaian yang basah. Tapi kue itu tetap kering tak tersentuh hujan. Ia simpan kue itu di atas meja. Berdiri dengan mata berkaca-kaca. Entah apa yang membuatnya terharu. 

Mama… cepatlah pulang. 

Ini adalah ulang tahunnya yang ke sembilan. Angka sembilan merupakan angka tertinggi dari deret bilangan satu desimal. Angka sembilan merupakan angka keramat. Angka sembilan dipercaya bisa membawa keberuntungan. Begitulah kata orang-orang. Tapi Mae bukan anak tertinggi di kelasnya. Ia jelas bukan anak keramat. Ia juga tidak merasa beruntung hari ini. Ia masih menunggu Mama pulang.

Seingatnya, ini pertama kalinya Mama tak kunjung pulang hingga larut malam. Biasanya Mama sudah berada di rumah paling telat pukul delapan. Menyiapkan makan malam untuk mereka berdua, lalu pergi ke alam mimpi ketika jam menunjukkan tepat pukul sembilan. Begitulah hari-hari yang selalu mereka lalui bersama. Hanya mereka berdua, Mae dan Mama.

Mae tidak pernah mengenal sosok Ayahnya. Malah saat usianya baru menginjak enam tahun, ia tidak mengerti, apa itu Ayah. Suatu waktu ia sempat bertanya pada gurunya di sekolah, ia mendapat penjelasan bahwa ayah adalah orang yang selalu mendampingi ibu, orang yang berkewajiban menafkahi keluarga . Seingat Mae, yang menafkahi keluarga adalah Mama. 

Kalau begitu, ayah juga berarti Mama . Pikirnya waktu itu. 

Tetapi kata bu guru, ayah adalah seorang laki-laki, sedangkan ibu adalah perempuan .

Mae menjadi bingung.

Lalu ia teringat akan satu hal; ia memang sering melihat beberapa laki-laki datang ke rumahnya, dan laki-laki itu mendampingi mama! Pekiknya girang.

Tapi ada begitu banyak laki-laki yang sering mengunjungi rumahnya, dan mereka selalu mendampingi mama. Sisa pertanyaan yang ada di kepalanya ia lontarkan.

“Bu guru, apakah ayah bisa berganti-ganti setiap minggunya?”

Bu guru hanya menatapnya diam.

Mae menjadi takjub pada dirinya sendiri. Inilah satu-satunya pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh gurunya.

Ketika Mae sudah tiba di rumah, ia langsung menceritakan kejadian seru yang dialaminya di sekolah. Ia menceritakan seluruh perbincangan antara ia dan bu guru. Semua ceritanya diselingi dengan tawa renyah dari mama, kadang terbahak sambil mengacak-ngacak rambut Mae.

“…dan waktu Mae menanyakan tentang ayah Mae yang selalu berganti-ganti setiap minggu, bu guru itu tak bisa menjawab! Apa berarti bu guru bodoh Ma’? Apa Mae sudah lebih pintar? Mae pintar kan Ma’?”

Senyum Mae semakin merekah, sedangkah senyum di wajah Mama telah menghilang. Mama hanya menatapnya diam. Tapi Mae tidak heran. Ini bukan pertama kalinya Mama tak bisa menjawab pertanyaannya. Aku memang anak yang pintar ! Pikir Mae girang.

Mama.. cepat dong pulang… Aku kesepian.

Sebentar lagi pukul setengah dua belas. Jarum detiknya terus menyeret diri dari kiri ke kanan atau kanan ke kiri. Meninggalkan jejak pada angka di belakangnya, membuat jarum menit nyaris menyentuh angka enam. Mae ingin mengambil jam di dinding, melepaskan batu baterainya dan membiarkan jarum detik itu berhenti bergerak sampai mama pulang. Lalu ia akan memasangkan batu baterainya lagi ketika mama sudah berada disampingnya, siap untuk meniup lilin bersamanya.

Tapi tubuhnya tidak cukup tinggi untuk menggapai. Dan meja atau kursi itu terlalu berat untuk diseret dan dijadikan pijakan. Maka ia putuskan untuk membiarkan detik itu terus berlalu tanpa ampun. Tiga puluh menit lagi, harapannya untuk meniup lilin dan memakan kue bersama Mama pupus sudah.

Tiba-tiba Mae mendengar suara dan terlonjak. Matanya awas mengitari sekitar ruangan. Tak ada apa-apa disana. Ia tidak memerlukan usaha yang keras untuk melihat keseluruh ruangan. Rumahnya tergolong dalam kategori rumah-teramat-sangat-sederhana-sekali. Atapnya dari seng dan telah bolong disana-sini, membuat tetes-tetes hujan bisa terjun bebas ke lantai semen. Tempat sekarang ia duduk meringkuk beralaskan karpet usang berukuran dua ke dua .

Mae tidak melihat apapun. Ruangan memang gelap, listrik padam sedari tadi karena hujan yang tak juga berhenti. Satu-satunya penerangan hanyalah berasal dari nyala api lilin. Lilin berwarna putih yang biasa dipakai kalau rumahmu gelap. Lilin yang akan ditiupnya ketika Mama sudah tiba. 

Tapi Mama tak kunjung tiba.

Ia masih mencari-cari dalam gelap, menajamkan telinganya, menebak-nebak apakah sesuatu yang membuat suara itu masih disana. Mae tidak takut setan. Karena kata Mama, setan tidak akan menghampiri anak yang baik. Tapi itu dulu sekali waktu umurnya masih lima tahun. Ia menyesal karena tadi pagi ia tak sempat bertanya, Mama, apakah hari ini aku masih menjadi anak yang baik ?

Ia juga tidak takut sama pencuri. Tak ada satupun barang berharga yang bisa dicuri di rumah ini. Tapi dulu Mama pernah berkata bahwa Mae adalah satu-satunya hal yang paling berharga buat Mama. Ia menjadi takut kalau-kalau pencuri itu malah menculik dirinya, lalu tubuhnya dipotong-potong untuk dijadikan bakso isi cincang kalau pencuri itu tidak berhasil mendapatkan uang tebusan yang sepadan dari Mama. 

Pikirannya terus melayang ke Mama. Tadi pagi mamanya sempat berkata bahwa ia akan membelikan sebuah kue coklat kesukaannya ketika pulang nanti. Lengkap dengan lilin berbentuk angka sembilan tertancap diatasnya. Mae senang, dan sedari siang, ia terus membayangkan akan menyanyikan lagu ulang tahun, meniup lilin berangka sembilan, dan memakan kue coklat itu dengan lahap bersama mama.

Tapi kue belum juga datang. Mama pun belum pulang. Mungkin kuenya besar sekali sampai-sampai mama kesulitan membawanya. Mungkin Mama sedang berteduh karena hujan. Mungkin Mama mau memberikan kejutan. Mungkin…

Dan akhirnya Lonceng pun telah berdentang di kejauhan. Sekali… dua kali… tiga kali… dua belas kali…

Lonceng telah berhenti berdentang,
kereta kencana berubah menjadi labu, peri menjadi debu.
Mama, mama, cepatlah kau datang,
mari kita berdendang sebait lagu ulang tahun untukku.



Mama belum juga pulang .
Tak ada gunanya lagi menunggu. Mae mendesah pelan. Kekecewaannya mengganjal di tenggorokan, tak bisa ia telah bulat-bulat. Ia menatap kuenya, lalu lilinnya. Kue coklat itu terlalu kecil untuk dipasangi lilin. Meskipun lilinnya sudah mengecil karena sudah terbakar sejak lama, kue itu tetap saja lebih kecil.

Ia mengambil kue itu, menaruhnya di samping lilin, memejamkan matanya, melafalkan sebuah doa dalam hati, dan…

Fuuuuhh…

Api telah padam. Ruangan menjadi gelap pekat.

Ia menunggu. Tak ada tanda-tanda orang yang akan berseru “Kejutan!” tak ada nyanyian Selamat Ulang Tahun. Tak ada ciuman hangat dari Mamanya. Tak ada. Yang ada hanyalah sepotong kue coklat yang ia beli tadi siang. Yang ada hanyalah pekat. Yang ada hanyalah tak ada. Ia nyalakan lagi lilinnya. Apinya menari-nari di tembok kusam. Hampir separuh sisi tembok itu basah terkena rembesan air hujan dan meninggalkan bercak-bercak jamur kehitaman. Dalam gelap, nyala api itu tampak seperti sebuah tarian yang mengejek kesendirian Mae.

Mae mencomot kuenya, memasukannya ke dalam mulutnya dan mulai mengunyah. Kuenya habis dalam hitungan detik. Tak ada lagi yang tersisa selain kesepian, kesedihan, dan batang lilin yang hampir habis. Ia merapatkan tubuhnya yang menggigil karena lapar dan kedinginan. Hujan masih turun dengan gigihnya sambil diiringi angin ribut yang memecah kesunyian, membuat seng-seng bersuaraprang-prang-prang . Mae tak punya sisa tenaga untuk takut terhadap apapun. Pikirannya melayang ke Mama. Batinnya menuntut kehadiran Mama. Tubuhnya membutuhkan dekapan Mama. Tak terasa, air matanya jatuh menetes, membayangkan tentang entah apa yang mungkin terjadi pada Mama yang tak kunjung pulang.

Mama, cepatlah pulang.

Ternyata Mama tak juga pulang.

____

Malam bergeser dengan pelan. Nyanyian hujan mulai terdengar samar-samar. Mae sudah kelelahan menunggu. Kepalanya terkulai di meja ditemani oleh satu atau dua ekor semut yang terus berdatangan, tergoda oleh manisnya remah-remah kue coklat yang tercecer di meja. Batang lilin semakin mengecil dan dalam lima menit apinya padam. Mae, anak yang telah berumur sembilan tahun lebih sehari, sudah tertidur tanpa perlu menyambut kegelapan.

Sementara itu dikejauhan, kira-kira tujuh kilometer dari tempat Mae tertidur, sirine ambulans sedang meraung-raung membawa kabar.


**


Bandung, 14 May 2010 - 10:09 PM
Kado ulang tahun untuk kaka ku





*Pernah di muat di Oase Kompas

No comments: