Category

cerpen (8) curahan hati (5) english (3) lirik (2) music (2) puisi (14) review (1)

Sunday 23 May 2010

Surat Untuk Kekasihku

Sudah hampir satu bulan langit terus seperti itu; kelabu. Sambil terus mengucurkan airnya. Kadang besar, kadang kecil. Namun tak pernah benar-benar berhenti.

Langit sedang berkabung.

Begitulah kata orang-orang satu kampung yang merasa heran karena hujan terus turun di bulan ini. Semestinya sekarang adalah musim peralihan, dimana langit hanya sesekali menumpahkan airnya. Meskipun hujannya tidak begitu besar—hanya berupa rintik gerimis atau tetes yang lebih besar dari embun—tapi hujan yang enggan berhenti ini telah membuat air sungai meluap dan hampir meluber ke jalan. 

Sementara di Kampung Seberang, mentari sedang cerah-cerahnya bersinar. Membuat beberapa ekor burung melompat riang dari satu pucuk pohon ke pucuk pohon lainnya sambil terus menyapa hari dengan gaya mereka yang jenaka.

Ia tahu seharusnya hujan tak perlu bertingkah seperti ini. Ia merasa dirinya patut disalahkan karena hujan yang tak mau berhenti. Dan ia sudah putuskan akan bertanggung jawab pada keadaan.

Maka pada suatu pagi, ketika hari masih sama seperti kemarin, ia melangkah melewati jembatan di atas sungai yang airnya menghanyutkan sepasang sandal, daun-daun dan sampah-sampah plastik. Disana, di sepanjang pinggir sungai, berdiri sekelompok orang yang sedang bergotong royong, melakukan berbagai hal untuk mengurangi ancaman banjir.

Tetes-tetes hujan membasahi rambutnya. Ia berhenti melangkah sejenak, membiarkan dirinya berdiri bersama hujan, merasakan tiap tetesnya merembes ke dalam pori-pori lalu menyentuh hatinya. Matanya tertutup, dengan wajah agak mendongak ke langit seakan meminta lebih banyak lagi bulir-bulir yang jatuh ke dalam jantungnya, nadi-nadinya, hingga mengalir bersama darah di dalam tubuhnya. Begitu lembut. Begitu syahdu. Dan hatinya pun bergetar.

Cinta, sebesar inikah rasa rindumu?*

Sudah cukup lama ia berdiri mendengarkan suara yang disampaikan oleh hujan. Mungkin sudah satu jam. Ia tak tahu. Tapi begitu ia membuka matanya, ia melihat keadaan masih tetap sama: hujan yang terus turun, sepasang sandal, daun-daun dan sampah-sampah plastik yang hanyut, serta orang-orang yang sedang bergotong royong. Ia teringat pada tujuannya datang ke tepi sungai, lalu melanjutkan melangkah.

Ia mulai berbicara ketika mendekat. Orang-orang berhenti bergerak. Tak lama, beberapa orang tertawa. Ada pula yang menyeringai. Yang lainnya mendengus tak percaya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian ia berlalu dan orang-orang mulai bergerak lagi, atau pura-pura bergerak menyibukkan diri sambil menunggu ia lenyap di tikungan.

Lenyapnya si pembawa berita menjadi pertanda bagi orang-orang itu untuk kembali bergerombol, bergosip tentang hal yang baru saja mereka dengar.

Hah, apa katanya?

Kasihan, dia gila.

Mungkin dia geger otak.

Otaknya sudah beku.

Atau mungkin dia sudah tak punya otak. Otaknya ikut hanyut bersama air hujan.

Hahaha…


Setelah puas berkomentar, kerumunan pun bubar. Beberapa orang masih senyam-senyummengingat sepenggal kalimat tentang apa yang didengarnya barusan: Tetes-tetes hujan ini adalah rindu yang disampaikan oleh kekasihku *.

Hah, ada-ada saja!

***

Dari sini ia bisa melihat keadaan di luar yang terus diguyur hujan. Jendela kamarnya memang selalu dibiarkan terbuka, agar ia bisa leluasa mendengarkan irama hujan. Agar ia bisa mendengar suara kekasihnya yang tak terucapkan. Pada saat seperti ini, ia selalu kembali mengutuki dirinya yang sok pahlawan dan sok tegar.

Aku membiarkannya pergi karena aku mencintainya.

AARGHH..!! KEPARAT!!!

BUG! BUG! BUG!

Ia terus meninju tembok sampai tangannya biru-biru. Berhenti meninju, lalu mulai mengibas-ngibaskan tangannya dan meringis kesakitan. Ia berputar dan matanya menemukan hpnya tergeletak di kolong meja. Merangkak, mengambil hp, lalu ubun-ubunnya terantuk ketika ia mencoba untuk berdiri.

Masih saja ia menyumpah-nyumpah ketika memencet tombol-tombol hp dengan cepat, mencari satu nama, lalu menemukannya:

Cinta
087879056460

Ia tekan satu tombol dengan ujung jempolnya. Menyalakan fungsi loudspeaker, lalu terdengar sebuah suara:

nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi. The number you are calling is not active or out of coverage area. Please try again later. Tut.. tut.. tut…

Sudah seperti itu sejak sebulan yang lalu. Dan ia tetap tak punya jawaban kenapa nomor Cinta tak bisa dihubungi.

Mungkin dia telah benar-benar pergi. Sebuah suara memenuhi kepalanya. Ia menampiknya. Ia tak ingin mendengarnya. Ia ingin mengabaikannya.

Ia berbalik dan menyimpan hpnya yang kali ini ditaruh diatas meja. Mengambil sebatang rokok, menyulutnya, lalu menghisapnya dalam-dalam sebelum menyemburkan asap putih dari mulutnya. Ketika ia melakukannya, ia terlihat seperti ingin menyemburkan rasa frustasinya juga, berharap rasa itu ikut melayang bersama sekumpulan asap rokok bau dan pergi menembus hujan.

Aku membiarkannya pergi karena aku mencintainya .

Sederet kalimat itu terus ia lafalkan seperti jimat disetiap detik penuh sesal. Berharap ada sedikit pembenaran disana. Berharap bisa mendapatkan pembelaan untuk sebelah jiwanya yang sok pahlawan dan sok tegar.

Ia tak tahan. Ia mengambil kertas dan pulpen dan mulai menulis di mejanya yang berantakan: satu kotak tembakau, asbak yang sudah penuh, bingkai photo berdebu, tumpukan buku-buku dan kertas-kertas, dan setengah-gelas kopi susu yang suah tidak mengepul sisa tadi pagi.

Sudah setengah jam ia mencoba menulis, tapi kertas HVS itu masih nyaris bersih. Hanya ada beberapa kata yang ditulisnya dengan tulisan ceker ayam dan penuh coretan disana-sini. Rokoknya masih terjepit di tangan kirinya, mengeluarkan asap berbentuk spiral ke udara. Tangan kanannya sibuk memainkan pulpen, membuat suara tuk-tuk-tuk yang cepat ketika ujung pulpen menyentuh permukaan meja. Matanya tampak fokus ke bingkai photo. Dua orang terbingkai disana. Satu perempuan dan satunya lagi laki-laki.

Yang perempuan sedang tersenyum dan mengacungkan kedua jari tangan kananya. Pundaknya dirangkul oleh laki-laki disebelahnya, tersenyum juga. Kedua orang itu memakai kalung liontin, yang ujungnya menyentuh tulisan ‘Cinta’ dan ‘Arjuna’ dibagian dada masing-masing, yang dicetak-sablon pada kaos yang mereka pakai.

Lama-lama tatapannya pada bingkai mengabur. Matanya mulai menerawang. Pikirannya sedang melayang ke suatu jaman.

***

Menurutku Paris merupakan kota romantis yang indah! Itu menurut buku yang aku baca. Katanya, disana banyak orang yang berjalan kaki, tidak seperti disini yang selalu berkendara dan sangat polutif !

Polutif ?

Iya, polutif . Maksudku, udaranya sangat dipenuhi oleh polusi... Memangnya istilahnya bukanpolutif yah ?

Entahlah. Aku baru dengar.

Aku juga. Hahaha.. Aku memang suka sok tau yah !

Hahahaaa..

Terus dari Paris aku bisa mengunjungi makam seniman dan ilmuwan terkenal, Mas Da Vinci. Aku dengar ia dikuburkan di sana. Siapa tau aku bisa dapat wangsit untuk menulis, meski sebenarnya dia seorang pelukis. Kau kan tahu kalau aku suka menulis. Tapi aku ga tahu makamnya yang mana. Apakah mereka menjual peta kota? Tapi aku juga ga bisa baca peta. Aku tergolong orang yang benar-benar buta-peta. Orang bilang, itu memang sudah tabiat perempuan. Hahaha.. Pokonya kalau aku kesana, kamu harus ikut bersamaku dan jadi guide, biar aku ga perlu nyasar . Aku kan orang yang selalu bingung arah. Aku….



Kamu terus saja nyerocos tentang Paris. Geli sendiri ketika kamu menyebut namaMas Da Vinci. Dan ngomong-ngomong, kamu kan memang orang yang tak mengerti arah. Menunjuk Utara pun kamu selalu salah. Aah.. aku jadi ingat, itukan tebak-tebakan favoritku. Biasanya kamu selalu kalah dan aku akan memintamu untuk mentraktirku makan bakso Malang. Tapi kalau kamu tetap nekat mau pergi kesana, yaaa.. terserahlah .

***

Setelah lewat satu jam ia telah berhenti menulis. Menegakkan punggunya, dan meregangkan jari-jarinya—rokoknya sudah lama mati tergeletak di asbak. Lalu ia mengambil surat dan mulai membaca:


Halo Cinta,

Bagaimana kabarmu hari ini? Semoga kamu senantiasa sehat dan bahagia disana. Akupun baik-baik saja, jadi kau tak perlu mengkhawatirkanku. Aku hanya sedikit rindu padamu. Maksudku, sedikit lebih banyak dari rasa rindumu padaku.

Aaahh.. Mungkin bagimu ini terdengar basi, atau kamu menganggap aku terlalu berbasa-basi dengan menyanyakan pertanyaan standar tentang kabar. Tapi aku memang tidak tahu bagaimana memulai kalimat pembuka yang baik. Karena seperti yang kamu tahu, aku bukanlah tipe laki-laki yang pandai berpujangga. Untuk menulis satu kalimat panjang pun susahnya minta ampun. Kalau kamu ada disini, kamu bisa melihat tetes-tetes peluh yang membanjiri dahiku dan terus mengalir hingga ke pipi meski sekarang udaranya sedang dingin. Tapi sayangnya kamu tidak disini, untuk itulah aku menulis surat padamu. Aku ingin menjelaskan tentang hal yang seharusnya waktu itu aku jelaskan.

Maaf, karena aku tak datang pada hari kau menungguku di stasiun. Aku juga tak membalas semua bentuk pesan yang kamu kirimkan padaku. Memangnya aku bisa berbuat apa? Apa aku harus bilang, “maaf, Cinta. Aku tak bisa menemanimu pergi karena masih banyak yang harus aku kerjakan disini.” Atau mungkin, “ya aku akan datang. Tunggulah disana dan aku akan mencegahmu pergi”.

Aku tahu sebenarnya kamu mengharapkan aku untuk datang, memohon agar kamu tidak pergi dan tetap tinggal disini bersamaku sampai mati. Tapi aku tidak melakukannya, Cinta. aku membiarkanmu pergi karena aku mencintaimu.

Ya, itulah sebabnya aku tak datang ke stasiun sabtu itu. Aku tak ingin menghalangi dan membuatmu melangkah dengan ragu. Paris adalah cita-citamu, tujuan hidupmu. Suatu tempat yang bisa membuatmu bercerita dengan mata berbinar-binar dan emosi yang menggebu-gebu. Maka kubiarkan kamu pergi meski hati tak suka. Kubiarkan kamu pergi meski hati berteriak “tidak!”.

Dan sampai sekarang pun aku tak yakin yang telah kuputuskan adalah benar. Satu-satunya hal yang benar adalah aku merindukanmu, Cinta. Kamu juga pasti begitu, kan? Hujan yang terus turun sejak sebulan yang lalu telah mengatakannya kepadaku. Dan aku mendengarnya. Aku merasakannya. Meski orang-orang tidak mempercayaiku dan menggapku gila karna mengatakan kepada mereka bahwa air hujan ini adalah rindu yang disampaikan olehmu*, tapi aku tahu bahwa sebenarnya merekalah yang tidak peka.

Wah.. lihat, Cinta! Akhirnya aku telah berhasil menulis beberapa kalimat. Bahkan beberapa paragraph. Orang bilang, seseorang akan mendadak menjadi pujangga kalau mereka sedang berurusan dengan masalah cinta. Aku tak tahu apakah itu berita baik atau buruk untukku. Tapi aku punya satu puisi buat mu, semoga kamu suka. Dengar ini baik-baik ya:

“Cinta, rindu yang kau sampaikan melalui hujan sudah aku terima*. Kalau kau merefleksikan rasa rindu pada tiap-tiap tetesnya, pastilah rindumu itu dahsyat sekali hingga nyaris menenggelamkan Negeri Pelangi.

Pulang, pulanglah Cinta pada pelukku. Ciptakanlah sejuta warna di Negeri Pelangi, yang bahkan warna-warninya tak pernah terlihat oleh dunia selain warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu.”


Nah, bagaimana? Apakah puisi tadi cukup romantis buatmu? Apakah itu bisa membuatmu mengingatku? Karna aku ingin kamu selalu mengingatku, supaya kamu gak kebablasan disana dan ingat untuk pulang. Pulang ya, Cinta. Aku merindukanmu.

Salam rindu, peluk dan cium,

-Arjuna- 



Ia tersenyum, lalu melipat suratnya menjadi bentuk segi-empat. Ia tak membutuhkan amplop karena memang tak ada alamat yang harus dituliskan, dan ia yakin tak akan ada satupun pak pos yang mau mengantarkan surat tanpa alamat. Ia juga meragukan kisah klasik tentang burung-merpati-pengantar-surat. Bagaimana kalau burung-burung itu salah alamat? Atau kemungkinan yang lebih buruk, mereka bisa jadi telah ditembak mati oleh sekelompok pemburu kurang kerjaan sebelum suratnya sampai.

Maka setelah dilipat dengan rapi, surat itu ia simpan di dalam lemari pakaian, bersama tiga buah surat lainnya yang serupa. Surat yang telah ia tulis di mingu-minggu sebelumnya. Surat yang berisikan perasaan, harapan dan rasa sesalnya. Surat yang ditujukan hanya untuk satu orang saja; surat untuk Cinta.


**

Bandung, kamar, 23 May 2010
Ketika hujan tak juga berhenti.


(*) berdasarkan cerpen sebelumnya: Hujan Air Mata: “hujan, sampaikan salam rinduku padanya”.


Catatan: made by request. Cerpen ini dibuat karena ada permintaan dari teman-teman untuk melanjutkan cerpen Hujan Air Mata. Mudah-mudahan ceritanya nyambung yah.. ^^

3 comments:

Unknown said...

cool...

lophegirl said...

thank youuuu..
as cool as the owner of blog :D

Anonymous said...

bagus nih,,kmu banyak bikin narasinya,,heheh,aku malah g bisa,hehhe namanya sama arjuna,:)